“Hei! Lihat!” Allen celingukan memandang penuh tanda tanya pada jalan tak jauh di depan mereka. Keduanya berlari kecil menuju kerumunan besar di tempat parkir sebuah gedung. Ada api berkobar di banyak tempat. Aspalnya retak di sana sini. Kaca depan gedung yang ternyata sebuah hotel itu berhamburan di mana-mana.
“Ada apa?” tanya Rogan kepada seorang karyawati di dekatnya. Gadis itu pucat pasi, kelihatan saja dari pemerah pipinya yang memudar. Ia seperti ingin mengungkapkan suatu rasa prihatin yang mendalam.
“Siang tadi ada bom meledak disini. Ah! Masa kau tidak tahu! Tapi aku takut sekali kalau ada bom berikutnya. Untunglah polisi bilang lokasinya sudah aman,” jelasnya tak beraturan.
“Lalu..., ada korban?”
“Kau ini! Tentu saja ada korban! Gedung ini hotel berbintang, Bung! Lebih dari dua ratus orang luka-luka dan yang tewas juga tidak satu atau dua. Banyak diantara mereka adalah anak-anak,” ujarnya tampak emosi.
“Kalau saja kita tahu siapa biadab yang melakukannya.”
Allen tidak berminat ikut campur pembicaraan mereka. Ia menyusup ke sela-sela kerumunan dan melihat sendiri sejumlah ambulans yang sedang mengemasi korban-korban yang menjerit kesakitan. Sebagian besar kulit mereka sudah melepuh mengelupas. Bahkan, mereka kehilangan wajahnya. Allen juga melihat hamparan kantong yang berisi mayat anak-anak. Di sepanjang perparkiran beradu raungan sirine ambulans, mobil polisi, pemadam kebakaran, dan tangis orang-Orang. Belum lagi pengapnya asap yang mengepul di udara.
Rogan menarik Allen untuk menjauh. Mereka menepi di sebuah phone box.
“Mau menelepon siapa?" tanya Allen.
“Diam di sana!” Rogan memencet nomornya dengan cepat.
“Galih?”
“Ya, aku di sini,” sahut suara di seberang.
“Apa-apaan kau ini? Sudah kubilang P itu bagianku! Dan waktunya juga bukan sekarang.”
29