Beres, sejauh ini semua baik-baik saja. Mak Iyah sudah mengamankan Oahar di markasnya. Bunda lagi ke Bukittinggi menghadiri persiapan perhelatan nikah sanak kami di sana, sedangkan Ayah masih di Jakarta, tiga hari lagi baru pulang. Berarti, aman...
“Soal nomor satu serahkan kepada saya!” ujar Gono.
“Uu... sombong, lu!” cibir Andi.
“Oke, Ndi, antum jawab soal nomor tiga. Biar ana kebagian nomor dua dan empat,” seperti biasa Aminuddin yang meng-coaching pembagian tugas.
“Ya..., kok yang paling sulit, sih? Andi langsung protes.
“Sudah, jangan cerewet!” sergah Amin. “Antum yang nomor lima, ya, Wi. Kita-kita tahu, kalau untuk urusan suspensi dan menghitung total bakteri, antum jagonya.”
Aku mengangguk. Kutaruh preparat di atas meja. Kuatur lensa mikroskop dengan perbesaran awal sepuluh kali, mendinginkan alat yang baru disterilisasi, mem-fiksasi bahan dan kaca alas, dan lantas bekerja seperti biasa...
“Minum dulu, Nak...,” Mak Iyah datang menyuguhkan lepat, godok pisang, dan teh. Mata Andi langsung pindah dari kertas ke atas piring kue. Dasar!
“Mak, makan siang Oahar langsung diantar ke kamar,ya. Ini kuncinya.” bisikku pada Mak Iyah. “Nanti kuncinya tolong dikembalikan ke saya, ya?” perempuan tua itu mengangguk meski kutahu ada warna protes di wajahnya.
Sehabis minum teh dan mengobrol ngalor-ngidul, kami melanjutkan lagi aktivitas belajar hingga tengah malam. Pukul setengah sebelas baru semua selesai. Teman-temanku sudah pada pulang. Aku kelewat capek dan mengantuk hingga tak sempat lagi membereskan peralatan dan sampah yang berserakan. Biar besok pagi saja. Uaaah... aku menguap lebar. Kutarik selimutku hingga menutupi kepala.
“Yeah...succeed, boy !” Andi melempar snell jas-nya kegirangan, begitu keluar dari lab mikrobiologi tempat kami ujian.
“Enggak sia-sia, deh, kita begadang semalaman”.
“Patut dirayakan, nih!”
“Yo.”
“Ke mana,” tanyaku.
62