keluargaku. Aku tak tahu. Pelukannya nyaman, ibu menenangkanku, seperti menghibur anak kecil. Ketika kuceritakan segala masalah tentang Chico, aku tak menemukan perubahan pada sinar matanya "Baru dua minggu, itu semua belum terlambat," ucapnya kemudian.
"Belum terlambat bagaimana?"
"Kau menghilang selama sembilan belas tahun, toh aku bisa memelukmu lagi."
"Tetapi, aku membiarkan ia tinggal di luar sana."
"Seperti aku dulu membiarkanmu pergi, bukan?"
"Chico tak mau pulang, Ibu. Ini di luar perkiraanku!'
"Aku pun mengira kau akan segera pulang apabila Irlandia itu memutuskanmu, ternyata tidak kau lakukan."
"Edzer ingin menyeret Chico pulang."
"Kalau ayahmu dahulu berbuat sama, mungkin kau akan lari ke Argentina dan lebih jauh?"
"Sepertinya anak itu amat tidak suka padaku, Ibu!"
"Mungkin dia hanya tak menyukai caramu?"
Aku menghela napas. Hampir aku berpikir, Ibu memang tak bisa mengerti aku, sebelum Ibu melanjutkan, "Satu hal yang kuakui sekarang padamu, Sofiana, dan aku minta maaf karenanya, aku telah menjadi sangat angkuh selama ini. Hatiku terlalu angkuh untuk hati seorang ibu, dan amat pongah bagi jiwa-jiwa yang masih ingin bebas."
Pandangannya amat teduh. Kudekap Ibu erat-erat. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur memiliki ibu di sini. Mulai aku memahami perkataan Ibu tentang keangkuhan, jiwa-jiwa yang ingin bebas... hatiku pun angkuh.... Ah, betapa agung kekuatan yang mendorong Ibu mengunjungi aku, juga yang
meluluhkan hatiku untuk kembali ke cintanya. Kami menghabiskan waktu bercerita perjalananku semenjak meninggalkan rumah malam itu, sambil meracik makan siang dengan pertalian baru ibu dan putrinya.
Tak kuduga keesokan siangnya, Chico pulang! Cuma yang kudapati pada wajah dan pakaiannya. Kulitnya pucat, ia kelihatan amat kurus. "Aku pulang karena rindu Maria-Fatima. Aku juga ingin makan churros Mama. Barang-barang itu sudah semuanya kukembalikan pada
73