Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/90

Halaman ini tervalidasi

Penaku beberapa kali terhambat perjalanannya ketika gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Wajahnya dibiarkan diperkosa angin. Waktuku seringkali tersita oleh gerakan-gerakan mubazir gadis itu. Akhirnya, kulewatkan wajah, kudahulukan rambut. Rambutnya berkilau seperti bintang iklan di televisi. Apa mungkin dia artis tenar? Rambutnya panjang tergerai melukiskan keindahan sejati. Pakaiannya yang glamour menandakan kemewahan tak terbeli. Semuanya akan kuabadikan di kertasku. Di kertas seseorang yang mungkin kedudukannya lebih rendah dari objeknya.

***

Anak-anak pantai merayakan kegembiraan setelah mencetak gol ke gawang lawan. Mereka seakan terlarut bersama kesenangan masing-masing. Suara-suara kecil mereka tenggelam oleh gemuruh ombak. Kadang bersatu menciptakan bising yang sarat kejanggalan. Ada pula pengamen cilik menjual suaranya kepada orang-orang yang bersantai di pondok di tepi pantai. Entah apa yang mereka dendangkan. Di telingaku, lagu mereka tidak punya nilai seni sama sekali. Tanpa unsur merdu, malah membuatku bosan. Tapi, aku senang jika melihat mereka tersenyum gembira. Terasa sekali kehangatan persaudaraan yang mereka jalani tanpa kebutuhan materi memuaskan. Lain dengan diriku yang cukup segalanya, tapi tidak bisa bergembira dengan hati senang Seperti mereka.


Tiba-tiba mereka berhenti di tempat aku duduk. Sekadar melihat-lihat apa yang kulakukan. Kurasa mereka sudah bisa menerka apa yang akan kulukis. Mereka mencermati gelagatku dengan melihat ke bawah, ke depan dan ke bawah, lalu ke depan lagi. Dilihatnya lukisanku dan juga objek yang aku lukis. Aku berusaha tersenyum di depan mereka. Tapi, tiba-tiba saja mereka pergi menjauh seperti habis melihat orang gila. Kurang ajar sekali, memangnya aku ini gila! “Dasar anak kampung, tidak bisa melihat orang kota!” kataku sambil merungut kesal.

***

Angin semakin kencang. Rokokku sudah tak kuasa menahan dinginnya keadaan. Ombak pun sudah berani


78