Halaman:Bidadari Binal.pdf/74

Halaman ini tervalidasi

68

TJILIK ROMAN'S

„Chairul” kata Kim-seng. „Tjoba lihat pemuda² itu, gesit, gaga dan bersemangat, kau selalu mengantuk seakan-akan kurang tidur......”

Chairul Anwar tertawa sambil tepok pundak Kim-seng. „Kami dengan mereka, berlainan djiwa...... Mereka berdjiwa pahlawan, kami berdjiwa...... sastra dan seni. Kewadjiban mereka didepan, di front, membunuh dan terbunuh. Kewadjiban kami digaris belakang, membangun dan mungkin mengatjau......Tetapi tidak...... Kita djustru hendak bermalas-malasan, supaja ilham datang dengan bebas...... Seniman dan sastrawan tidak dapat menerima komando, kurang paham disiplin...... Kami mau merdeka, kami hendak merdeka dalam menulis dan melukis..... Kami boleh tidur seantero hari, boleh ngimpi setengah malam, lalu bermain dengan pena dan dawat....dikala mendusin djam 3 pagi...... Wahai, disana kita dihampiri inspiratie, atau kami dobrak inspiratie...... Sekali tulis, mungkin tak ada harga untuk nafka, tak banjak arti untuk perut, tetapi akan merupakan satu bingkisan dikala kita sudah tiada....”

„Ah, Chairul kawanku” katanja Kim-seng. „Dalam semuda usiamu kau perbintjangkan mati......mati jang masih djauh...... djauh sekali”.

Chairul Anwar pandang Kim-seng......

„Hai, Kim-seng, takut mati angkau rupanja?” kata Chairul Anwar......

„Kita tidak dapat lari dari mati” kata Kim-seng....

„Precies” memotong Chairul Anwar . „Kita tidak tahu kapan kita akan berangkat, mungkin besok, mungkin lagi setahun, mangkin lagi 10 tahun, dan aku ingin hidup lagi 1000 tahun. Tetapi djika Paduka jang mulia Malaekat Elmaut datang besok atau hari ini, kita tidak dapat teeken apel atau minta gratie...... Dikala ada komando berangkat, kita mesti berangkat...... Maka 'Bung, selagi hidup perguna-