Semangat kebangsaan jang mulai meluap sesudah berachir perang dunia ke-II dan nampak tjerminnja dalam partai-partai politik, djuga meluas pada kaum wanita Indonesia dengan adanja bagian bagian wanita dari partai-partai tadi seperti halnja dengan Pasundan Isteri. Disamping ini organisasi organisasi wanita lain terutama bergerak dilapangan pendidikan kerumah tanggaan sadja. Tak lama kemudian datanglah saatnja wanita Indonesia merasa perlu mendjelmakan satu keku atan dari pada perkumpulan-perkumpulan wanita jang ada, seperti Wanita Utomo, Putri Indonesia, Taman Siswo dan sebagainja, maka diadakanlah Congres Perempuan Indonesia (1928). Dengan meluapnja semangat nasional jang mendapat sambutan jang hangat terutama dalam kalangan kaum peladjar (P.P.P.I.) dan pemuda (Indonesia Muda), maka timbullah djuga organisasi wanita jang bertudjuan pertama-tama: kemerdekaan rakjat Indonesia, jaitu: „Istri Sedar" dengan pelopornja Saudara Suwarni. Selaras dengan pertumbuhan pergerakan wanita dinegeri negeri lain, maka djuga di Indonesia pada umumnja kaum wanita mula-mula bergerak disekitar lapangan pendidikan, sosial dan banjak sedikit berhaluan feministis jaitu : mengutamakan kewanitaan dalam usaha-usahanja. Hal ini djuga disebab kan oleh „ Kebutaan dan ketakutan akan politik” oleh karena alat-alat pendjadjahan menutupi segala djalan jang memberi saluran kearah kesadaran kebangsaan. Tetapi lama kelamaan datang djugalah perobahan jang ternjata dari kemadjuan-kemadjuan dari Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia, Isteri Sedar, dan lain-lain sehingga pada kongres ke-II dalam tahun 1935 boleh dikata telah bangun semangat ,,bewustzijn" kesadaran akan perdjoangan bangsa menudju kemerdekaan tanah air. Tidak sedikit sebab-sebab kemadjuan ini didorong oleh andjuran dan peladjaran-peladjaran jang diberikan oleh pemimpin Ir. Soekarno jang menjatakan bahwa pergerakan perempuan pada masa itu dibagi dalam tiga tingkatan:
Beliau mengatakan bahwa pada saat itu (1927-1928) , kaum wanita Indonesia umumnja baru dalam tingkatan ke-I sedangkan untuk mentjapai tjita-tjita kemerdekaan rakjat dan bangsa, wanita di Indonesia harus melontjat dari tingkatan ke-I ke-tingkatan ke-III. Beliau tak djemu-djemunja mengemukakan tjontoh-tjontoh dari perdjoangan Madame Sun Yat Sen jang membuka djalan kepuntjak politik di Tiongkok dan Sarojini Naidu jang membawa tjita-tjita Mahatma Gandhi kedalam praktek guna |
mengedjar kemerdekaan India! Sesuai dengansemangat ini wanita Indonesia pertamakali mengirimkan utusan keluar negeri ke konperensi Lahore tahun 1941. Keinsjafan semangat kebangsaan ini ternjata sangat berharga, lebih-lebih ketika menghadapi pendjadjahan Djepang. Pada lahirnja tenggelam lah hasil-hasil perdjoangan P.P.I.I.., Istri Sedar dan lain-lainnja . Pemerintahan Balatentara Djepang telah mentjiptakan ,,Fuzinkai"-nja, jang pada dasarnja hendak mempergunakan tenaga wanita Indonesia sebagai alat penggerak masa menurut kehendak sipendjadjah. Sekalipun demikian, pengalaman jang pahit dari pendjadjahan dan penghinaan itu membawa satu kebaikan dalam arti: wanita Indonesia dapat merupakan potensi jang berharga ketika petjahnja revolusi nasional dengan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945! Kaum wanita Indonesia ternjata dapat digerakkan „en masse” melawan pendjadjahan kembali dari Belanda dan mulai dari garis jang terdepan (lasjkar-lasjkar wanita, palang merah, dapur umum dan sebagainja), sampai ketempatnja digaris belakang, wanita Indonesia tidaklah ketinggalan mengambil bagiannja selama kedua aksi „ polisionil" jang meminta ribuan korban manusia itu. Pemuda-pemuda pedjoang takkan mudah melupakan djasa-djasa Ibu-ibu digaris terdepan dan belakang jang selalu siap sedia pada tiap-tiap detik dimana dibutuhkan tenaganja selama pertempuran pertempuran mendahsjat itu! Usaha kaum wanita pada saat-saat itu tidak sedikit menjumbangkan pada ketinggian ,,moril” perdjoangan pemuda-pemuda kita jang sedang berdjoang mati-matian! Selama masa perdjoangan, kehidupan berorganisasi mulai tumbuh kembali dan mendjelma dalam pergerakan-pergerakan wanita seperti Perwari, P.P. I. (Pemuda Putri Indonesia), Muslimat, P.W.K.I. (Wanita Kristen) dan organisasi pedjoang-pedjo ang wanita sebagai Laswi (Lasjkar Wanita Indonesia) dan sebagainja. Untuk menghadapi kembalinja kolonialisme Belanda dalam segala bentuk nja, maka kaum wanita menghimpun tenaga dalam satu gabungan KOWANI. Selama masa perdjoangan, KOWANI memusatkan kegiatannja pada usaha-usaha membantu garis depan, tetapi sewaktu perselisihan dengan Belanda menghadapi penjelesaian politik, maka djuga pergerakan wanita tidak ketinggalan mengeluarkan suara sesuai dengan tuntutan bangsa dan tanah air. Atas initiatif ketua KOWANI, Nj. S. Pudjobuntoro, dalam tahun 1949 diadakan satu „ Permusjawaratan Wanita seluruh Indonesia", dimana djuga kaum wanita dari daerah-daerah jang masih diduduki oleh tentara pendjadjah, hadir. Pada saat itu delegasi Indonesia di negeri Belanda sedang menghadapi keuletan sipendjadjah dimuka „Medja Bundar" dan dengan suara bulat dikota Jogjakarta jang masih penuh dengan sisa-sisa kekedjaman imperialis Belanda itu, kaum wanita Indonesia menuntut „ supaja kemerdekaan negara dalam politik dan jang penuh dengan tidak bersjarat harus |
99