Halaman:Buku peringatan 30 tahun kesatuan pergerakan wanita Indonesia.pdf/129

Halaman ini tervalidasi

mengenai bumi sedjari) dan dalam perebutan wanita (sekalipun hanja disebabkan satu singgungan dahinja) manusia sanggup menjambung njawanja. Tanah disitu dipakai sebagai lambang penghidupan djasmani, karena segala makan manusia jang diperlukan untuk pertahanan hidupnja, berasal dari bumi. Kenjataan tentang utjapan itu dapat kita saksikan, sendiri. Bukankah perang didunia ini pokoknja disebabkan karena perebutan ekuasaan atas tanah? Bukankah itu sebetulnja merupakan salah satu ,,oerinstinct" atau ,,nafsu-kodrat" manusia jang pokok, nafsu kodrati untuk mempertahankan dirinja, terkenal dalam bahasa asing dengan perkataan „ instinct” untuk ,, self-preservation" atau ,,Zelfbehoud"?!

Adapun perempuan dimasukan kedalam periba-hasa itu ialah karena wanita disitu dianggap sebagai lambang kelanggengan hidup manusia. Salah satu ,,tjita-tjita chajali", (jang sebenarnja manusia tahu akan mokalnja namun tetap terkandung didalam djiwa „fantasi"-nja, sekalipun tidak disadari) ialah keinginannja untuk terus hidup. Manusia segan meninggalkan dunia, ia segan mati, ia ingin terus hidup tanpa mati. Dalam pada itu manusia mengerti dan insjaf, bahwa ia pasti akan mati. Agama mengandjurkan kepadanja, bahwa akan hidup langgeng ialah djiwanja, sedangkan badan djasmaninja akan antjur lebur kembali mendjadi tanah. Disitulah seolah-olah manusia tawar-menawar: „Djika badan djasmaniku pasti mati, hendaknja djenisku terus hidup; djanganlah aku keputusan turunan". Akibat dari pada tjita-tjita tadi sekalipun tidak disadari maka manusia selalu mementingkan segala apa jang berhubungan dengan soal „turunan”. Ia menaruh perhatian jang sebesar-besarnja terhadap perkawinan anak-anaknja. Dengan teliti ia memilih bakal menantunja dengan maksud memperbaiki turunannja (eugetik). Manusia memelihara anak-anaknja dengan penuh tjita-tjita jang sutji murni. Soal turunan adalah soal jang maha penting didalam hidup manusia. Perkawinan adalah peristiwa bahagia, sedang hidup turun-temurun oleh manusia dianggap sebagai „kelanggengan hidup". Dengan begitu maka wanita, jang ditakdirkan mendjadi pemangku turunan, mempunjai kedudukan didunia ini jang luhur, sutji dan indah. Wanita adalah lambang keabadian hidup, meskipun „abadi" hanja didunia jang „fana" ini!

Dalam hubungan ini dapatlah dimengerti adanja tradisi diseluruh dunia, jang bermaksud memelihara kesutjian dan keluhuran, kehalusan dan keindahan hidup wanita. Djangan sampai ada halangan atau hambatan, kesukaran atau bahaja terhadap

idam-idaman tentang „kelanggengan turunan” itu. Hanja sadja dalam pada itu patut disajangkan, bahwa pemeliharaan hidup kewanitaan tadi diusahakan dengan tjara-tjara jang biasanja melebihi keperluannja. Orang menggunakan tjara-tjara jang berasal dari zaman-zaman jang lampau, hingga kadang-kadang berbau sifat-sifat ,,djahilliah". Orang lupa, bahwa zaman jang modern dan progressif seperti sekarang ini, tidak selajaknja lagi orang wanita diperlukan sebagai barang pertama jang harus disimpan didalam almari, agar tak dapat ditjuri. Orang lupa bahwa masjarakat sekarang sangat berlainan strukturnja dengan dahulu. Orang lupa bahwa wanita kini ikut berlomba-lomba didalam hidup bersama dan telah membuktikan kesanggupan dan kemampuannja untuk mengurus dan mengatur hidup dirinja sendiri. Perlakuan setjara kolot terhadap kaum wanita, dizaman jang serba baru itu, sungguhpun bermaksud baik, namun kini nampak sebagai anggapan rendah, jang terkenal dengan nama ,,diskriminasi" semata-mata.

Dalam pada itu djanganlah pula dilupakan, bahwa didalam djiwa orang-orang laki-laki jang berdjiwa kolot itu, biasanja memang masih terus hidup semangat jang berupa nafsu kodrati kelakilakiannja, jang membahajakan tertib-damainja hidup keperempuan. Hingga masih perlu djuga dizaman sekarang ini kaum wanita memiliki kekuatan batin, untuk dapat melindungi dirinja. Untuk keperluan itu sungguh sangat perlu pendidikan budipekerti bagi kaum wanita dilakukan setjara effektif. Kekuatan batin didalam djiwa wanita, itulah „pagar-keselamatan" hidupnja, dimanapun orang wanita itu berada. Keteguhan budi bagi tiap-tiap wanita akan merupakan „tabir besi" jang kokoh sentausa hingga dapat menggagalkan setiap agresi dari luar. Pendidikan perempuan itu sebenarnja tidak merupakan kesukaran jang tidak dapat diatasi, karena didalam djiwa wanita ada benihbenih kesusilaan, karena kodratnja wanita sendiri, jang didalam ilmu djiwa disebut ,,kuisheids-instinct", jaitu nafsu kesutjian". Tidak usaha disini didjelaskan, bahwa djuga kaum laki-laki perlu dapat pendidikan budipekerti pada umumnja, chususnja jang bertalian dengan hidup sexualiteitnja. Asal kita dapat mengganti sistim pendidikan, jang hingga kini terlampau „,intelectualistis" itu, dengan systim jang mengutamakan perkembangan budi manusia, jang luhur, halus dan indah, hingga lajak bagi sifat keadabannja itu maka pastilah tertib-damainja masjarakat pada umumnja dan chususnja hidup kewanitaan akan tertolong karenanja.

Selamatlah wanita bergerak untuk kesusilaan hidupnja!


–––––––––

115