Setelah pembukaan selesai, maka Njonja Mr. Tuti Harahap membatjakan pidato Nj. Sri Mangun sarkoro selaku Ketua Panitia Peringatan Pusat jang berhalangan datang ke Djakarta dari Jogja.
Dalam pidatonja itu Nj. Sri Mangunsarkoro berkata:
Bapak Presiden dan Wakil Presiden jang kami muliakan,
Saudara Perdana Menteri,
Saudara-saudara Anggauta Parlemen,
Saudara-saudara Wakil Pergerakan dan Pers,
Saudara-saudara hadirin sekalian,
Besar hati kami, bahwa kami sebagai penjelenggara peringatan Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia berdiri dimuka Saudara sekalian, untuk menjatakan pembukaan resmi dari peringatan jang bersedjarah untuk wanita chususnja, dan bersedjarah untuk masjarakat umumnja.
Saudara-saudara, sekalian, hari 22 Desember adalah hari nasional, sederadjat kedudukannja dengan hari-hari nasional jang lain. Kami tak dapat menjetudjui, kalau Hari 22 Desember jang kita namakan „HARI IBU” itu hanja mendjadi harinja Ibu-ibu sadja. Kalau bangsa kita mengenal Hari Satu Mei sebagai Hari Buruh, maka Hari 22 Desember adalah Hari Ibu. Karena djusteru hari 22 Desember itulah Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia membuka djalannja kearah pengabdian Bangsa dan Negaranja.
Kongres Perempuan Indonesia ke-III jang diadakan di Bandung pada tahun 1938-lah jang mengambil keputusan, supaja hari 22 Desember itu didjadikan „HARI IBU” nasional. Hari Ibu jang mengandung arti sumbangsih para Ibu guna ke selamatan dan kebahagiaan Negara dan Rakjatnja:
Hadirin jang terhormat,
Marilah disini kami paparkan sekedarnja dorongan-dorongan apakah jang menimbulkan adanja peringatan Seperempat Abad Kesatuan Per
gerakan Wanita Indonesia ini?
Sedjarah Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia dari awal mulanja memang tidak dapat dipisah pisahkan dengan sedjarah perdjoangan Tanah-Air dan Bangsa. Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia itu timbulnja djusteru pada waktu „Sumpah Pemuda” sedang menggeledek dan menggelora di seluruh angkasa Indonesia untuk mendorong selu ruh perdjoangan Bangsanja kearah kesatuan ke Indonesiaan menudju kepada „Indonesia Merdeka”.
Tiga sumpah Pemuda:
1. Satu Tanah Air, — Tanah Air Indonesia,
2. Satu Bangsa, — Bangsa Indonesia,
3. Satu Bahasa, — Bahasa Indonesia,
jang mulai menggeledek pada waktu diterimanja Lagu „Indonesia Raya” dari W. R. Supratman sebagai lagu Kebangsaan, membakar pula hati wanita-wanita Jogja, tidak sadja Wanita-wanita muda, akan tetapi djuga wanita-wanita tuanja.
Berpadulah wanita-wanita muda dengan dynamis nja dan wanita-wanita tua dengan kebidjaksanaan nja didalam Komite Kongres jang terdiri dari Wakil-wakil Organisasi puteri dan wanita seperti dibawah ini:
1. Puteri Indonesia (Keputerian Pemuda Indonesia),
2. Wanito Utomo,
3. Taman Siswo,
4. Jong Java,
5. Aisjiah,
6. Jong Islamieten Bond Dames Afdeling,
7. Wanita Katholiek.
Komite Kongres inilah jang mengundang organisasi-organisasi Wanita seluruhnja untuk bersama sama mengadakan Kongres Perempuan Indonesia jang pertama di Jogjakarta pada tanggal 22 Desember -- 25 Desember 1928.
Dalam Kongres itu terbentuklah badan kesatuan jang bernama „Perikatan Perempuan Indonesia” dengan Nj. Sukonto sebagai Ketuanja.
Perikatan Perempuan Indonesia itulah pertama-tama mendjadi pembuka djalan kearah kemadjuan Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia dan jang dalam pertumbuhannja menentukan dasar-dasar, bahwa Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia adalah satu bagian dari pada Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Ini ditentukan dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 di Djakarta dan kemudian dikuatkan lagi dalam Kongres Perempuan Indonesia di Bandung pada tahun 1938.
Maka tak mengherankan, bahwa pengaruh perdjoangan politik Bangsa kita berkumandang pula dalam Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, meskipun Kesatuan ini tidak berdasarkan politik ataupun Agama.
Dengan demikian maka didalam kalangan Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia timbul proses penjesuaian dengan kewadjiban jang diambilnja sendiri, jaitu mendjadi bagian dari Pergerakan Kebangsaan Indonesia itu.
Proses persesuaian itu tampak pada keinginan keinginan dalam Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia untuk mentjapai:
a. Kemestian wanita-wanita, supaja dapat bekerdja dengan bebas untuk menambah kepandaiannja.
b. Kemestian wanita-wanita dapat menjadarkan kedudukan dirinja sebagai manusia-wanita.
c. Kemestian wanita-wanita dapat memperkuat dirinja dalam perekonomian, jang mendjadi djaminan bagi kebebasan pribadinja.
d. Kemestian wanita-wanita dapat menjesuaikan dirinja dengan pergolakan kebangsaan sebagai anggauta masjarakat jang sadar.
e. Dan achirnja kesempatan untuk melaksanakan kemestian-kemestian itu semua, terutama dalam hidupnja sehari-hari, baik sebagai isteri/ibu maupun sebagai warga-negara.
Kalau tidak dilaksanakan didalam tiap-tiap hidupnja sebagai wanita sehari-hari dirumah tangga dan dalam masjarakat, mustahillah tjita-tjita Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia itu dapat mendjelmakan kekuatan kemasjarakatan jang di perlukan oleh pergolakan kebangsaan seluruhnja.
Saudara-saudara sekalian.
Marilah kita tindjau, sebenarnja apakah jang telah ditjapai dengan njata oleh Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia didalam Seperempat Abad berdjoang itu?63