BWEE HOA
19
II.
D I dalem kantoran dari tanah partikoelir Pasir-Angin Tek Bie sedeng bekerdja dengen giat. Ia doedoek hadepin medja toelis dengen satoe staat besar, tjatetan pembajaran koeli-koeli jang ia moesti oeroes. Sebentar-bentar Tek Bie melongok dari djendela jang ada di dampingnja dan mengawasin pegoenoengan Tjibodas jang indah. Ia menoelis, tapi pikirannja melajang dan merasa rindoe.
Sekoenjoeng-koenjoeng satoe boekoe terlempar dari loear djendela dan djatoh di atas medja toelisnja, hingga Tek Bie berlontjat lantaran kaget dan lompat ka deket djendela. Tapi waktoe ia dapetken siapa adanja di loear djendela, Tek Bie poenja moeka mendadakan djadi bersemoe merah, ia merasa girang tertjampoer maloe. Di sana Bwee Hoa dan njonja Jansen tertawa terpingkel-pingkel, sedeng Tek Bie tida taoe apa jangia moesti berkata.
„Slamet pagi. . . . . . . . . ., Bwee!” kata Tek Bie dengen rada goegoep.
„Kaoe ada onbeleefd, Bie,” menggoda njonja Jansen. „kaoe moestinja kasih tabe lebih doeloe pada saja, boekan?”
„Slamet pagi. . . . . . . . . . mevrouw!”
Itoe doea orang prempoean masih sadja terta-