Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/12

Halaman ini tervalidasi

digunakan adalah pendekatan tematik, karena seperti telah disebut di muka, buku ini akan mencoba mengenali citra manusia Indonesia. Dalam rangka mengenali manusia Indonesia itu, persoalan-persoalan yang dapat dikatakan selalu "abadi" melingkari kehidupan manusia adalah persoalan-persoalan yang lahir karena adanya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhan akan melahirkan citra manusia yang religius, sementara hubungan manusia dengan masyarakat akan membentuk manusia yang berwatak sosial. Dapat juga timbul manusia yang tidak religius dan tidak sosial dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan masyarakat, atau bahkan beberapa nuansa di antara manusia yang religius dan sosial dan manusia yang bukan religius dan bukan sosial. Semua itu akan tampak dalam puisi Indonesia modern periode 1920—1960 yang akan dibicarakan nanti.

Sementara itu, perlu dikemukakan bahwa upaya mengenali sosok manusia Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dapat dikatakan bahwa usaha mencari sosok, mencari bentuk manusia Indonesia telah dimulai jauh sebelum Indonesia secara politis menyatakan diri merdeka. Mohammad Yamin, salah seorang tokoh pergerakan nasional, melalui sajaknya "Tanah Air" yang ditulis pada tahun 1920 mengemukakan pandangan dan wawasannya tentang tanah air. Wawasan tanah air Mohammad Yamin dalam sajaknya itu masih terbatas pada Pulau Sumatra. Baru pada proklamasi 17 Agustus 1945 batas geografis wilayah Indonesia secara politis menjadi jelas, yaitu meliputi semua wilayah bekas jajahan Hindia Belanda.

Apabila secara politis wilayah geografis Indonesia dapat dinyatakan dengan tegas batas-batasnya, secara kultural batasan budaya Indonesia lebih sulit dirumuskan. Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 memang telah berhasil mencanangkan salah satu tonggak kebudayaan nasional, yaitu dengan mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan meresmikannya sebagai bahasa Indonesia. Akan tetapi, bentuk-bentuk kebudayaan nasional lain, seperti pandangan hidup, pola pikir, bentuk-bentuk kesenian dan arsitektur yang khas Indonesia masih merupakan perjalanan panjang yang mencari identitas dirinya.

Perjalanan panjang mencari identitas diri dalam penampilan dan perwujudan kebudayaan nasional itulah yang antara lain mewarnai polemik kebudayaan yang berlangsung pada tahun 1930-an antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dapat dipahami apabila polemik antara kedua tokoh itu berlangsung gencar karena perumusan kebudayaan nasional memang bukan hal yang gampang. Apalagi, pandangan budaya kedua tokoh polemik itu saling bertentangan. Sanusi Pane berkeyakinan bahwa Indonesia yang akan datang akan berjaya kembali seperti pada zaman Majapahit kalau bangsa Indonesia berorientasi kepada budaya

Pendahuluan

3