selalu tak akan pernah sempurna. Kesempurnaaan manusia adalah suatu kesia-siaan.
Bila dalam sajak Samadi terbaca sosok manusia yang menyadari ketidakmungkinannya untuk sempurna, sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Hidup di Dunia Hanya Sekali" (1938) justru memperlihatkan pada kita sosok manusia yang—barangkali karena sadar akan ketidakmungkinannya untuk sempurna—dipacu untuk berkarya dan berprestasi setinggi mungkin. Hidup di dunia yang hanya sekali, bagi si aku lirik, haruslah diisi dengan karya, dengan prestasi, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.
....
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat jangan kepalang
Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja
Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat menyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit peguangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
urat seregang mata memandang.
- (Lagu Pemacu Ombak, 1976)
Manusia dan Diri Sendiri
111