Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/126

Halaman ini tervalidasi

Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

(Madah Kelana, 1931)

Citra manusia yang pasrah, seperti terungkap dalam larik-larik sajak Sanusi Pane tadi, dapat dipandang sebagai citra manusia tandingan atau alternatif dari citra manusia yang terungkap dalam sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Hidup di Dunia Hanya Sekali", yang telah dikemukakan di depan. Dalam sajak Takdir kita temukan citra manusia yang berusaha menundukkan alam, tidak mau menyerah pada keadaan, dan berusaha mengisi hidup ini dengan kerja. Sebaliknya, dalam sajak Sanusi Pane, "Dibawa Gelombang", citra manusia yang teruingkap adalah manusia yang tunduk pada alam, pasrah sikap hidupnya, dan menyerah kepada nasib yang akan menggelindingkannya entah ke mana.

Citra manusia yang hampir serupa terdapat juga dalam sajak Hamka "Menumpang Berteduh". Dalam sajak Hamka ini, si aku lirik menganggap seolah-olah dunia ini hanya tempat lewat bagi hidupnya. Apa pun yang terjadi di dunia ini, ia berserah diri, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

Berilah aku izin, aku hanya menumpang berteduh!
Tidak sekuntum pun bunga yang 'kan ku petik,
Tidak ada ranting yang ’kan ku patah
Rumput pun tak layu ’ku pijakkan
Aku hanya menumpang berteduh,

Berilah aku izin, aku hanya menumpang berteduh!
Bila hujan telah berhenti turun,
Bila langit telah terang cuaca
Bila embun telah menyintak naik
Halaman ini akan ’ku tinggalkan.

Manusia dan Diri Sendiri117