Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/127

Halaman ini tervalidasi

Luka hatiku dipanah, haram tak sanggup 'ku menahan,
Aku hanya menumpang berteduh,
Nanti bila ’ku telah pergi,
Jejakku akan dihapuskan air hujan,
Rupaku yang buruk tak kelihatan lagi ....!

(Pedoman Masyarakat, 12 - 2 -1936, No. 3, Th. II)

Larik-larik di atas memperlihatkan pada kita sosok manusia yang beritikad baik terhadap sesama dan lingkungan, tetapi kurang tampak gairahnya dalam mewarnai lingkungannya ('Nanti bila 'ku telah pergi,/Jejakku akan dihapuskan air hujan'). Barangkali ini bertentangan dengan sosok manusia yang muncul dalam sajak Takdir, "Hidup di Dunia Hanya Sekali", yang terbaca tekadnya untuk mewarnai dunia ini, memberi arti pada kehidupan ini.

Bila dalam beberapa sajak yang dikemukakan di atas kita temukan sosok manusia yang amat bergairah dalam memberi makna pada kehidupan dan ada pula yang tidak terlalu bergairah, dalam sajak Muhammad Yamin berikut ini, "Ibarat", tampak bahwa ada sesuatu yang membatasi gerak manusia.

Hidup di dunia seperti berdagang
Membawa untung kian kemari
Menempuh padang beberapa negeri
Mencari kain pembalut tulang.

Kalau ’lah cukup emas di pinggang
Untuk nafkah kanan dan kiri
Hendaklah teringat di hati sendiri
Ke kampung halaman berbalik pulang.

Beberapa lamanya kita di rantau?
Cobalah sebentar tuan meninjau
Ke atas langit berwarna hijau.

Sebentar sahaja bintang berkilau
Kemudian muram menjadi silau
Selama itulah kita merantau!

(Jong Sumatra, IV/7, Juli 1921)

Dari larik-larik di atas tampak pada kita bahwa ada hukum alam yang membatasi, bahkan mengakhiri, gerak dan keinginan manusia. Karena itu,

118

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960