Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/130

Halaman ini tervalidasi

penyair 'tak ingin dipagari rupa' karena dengan demikian, ia akan merasakan hidup yang seluas-luasnya, yang sedalam-dalamnya, yang kemudian terjelma 'Ke-Indah-Kata', seperti terbaca dalam larik-larik ini.

O, lepaskan daku dari kurungan,
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyeberang harungan,
Mencari cinta, Kasih dan Sayang.

Aku tak ingin dipagari lupa!
Kusangka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam 'alam yang tak berbatas ...

Tak mau diikat erat-erat,
Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,
 Yang berpancaran dalam mata,
Terus menjelma
 Ke-lndah-Kata

   (Rindu Dendam, 1934)

Larik-larik sajak Tatengkeng tadi menunjukkan pada kita citra seorang penyair yang berpandangan bahwa keindahan sajak bukanlah sekadar permainan kata. Keindahan sajak, menurut si aku lirik, berasal dari hidup itu sendiri, paduan gerak hidup dan gerak sukma seorang seniman.

Pandangan yang senafas terbaca dalam sajak Sanusi Pane, "Sajak". Bahkan dalam bait kedua "Sajak" disebutkan bahwa sebuah sajak semestinya berangkat dari ketulusan jiwa penyairnya.

Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali.
Harus cintamu senantiasa.

   (Puspa Mega, 1927)

Manusia dan Diri Sendiri

121