Sungguh berat rasa berpisah
(Pujangga Baru: Th. II, No. 10, April 1935)
Ninggalkan kekasih berusuh hati,
Duduk berdiri sama gelisah
Ke mana hiburan akan dicari.
Kian kemari mencari kesunyian
Nengangkan kasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau mendering
Di manakah terbaca dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuh duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Di manakah dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang menyeberang segera?
Tidak ada gerak, tidak ada kebangkitan, tidak ada perlawanan terhadap keadaan, secara dominan mewarnai sajak-sajak periode 1920—1940 yang mengungkapkan konflik batin. Bahkan, dalam sajak M.R. Dajoh, "Orang Minta-Minta", si aku lirik yang hatinya tersentak melihat penderitaan orang lain juga tidak berbuat lebih lanjut. Perasaan si aku lirik menjadi gelisah karena penderitaan orang lain yang menyentuh hatinya, tanpa ia mampu berbuat apa-apa selain, barangkali, berbagi keresahan, seperti terungkap dalam larik-larik ini:
....
Hamba bangkit berjalan memuji-muji
kekayaan 'alam penuh kemuliaan,
Angan-angan yang berkilau-kilauan dan suci
Seperti menari-nari memandang segala keelokan
Tapi sekonyong-konyong hamba terkejut,
terkejut sangat melihat badan terlentang.
Gemetar hamba tak dapat hamba menyebut
sepatah kata! Tangan, kaki menjadi tegang!
Aduhai, seorang minta-minta di semak
berpakaian compang-camping, bermata dalam.
Manusia dan Diri Sendiri127