Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/148

Halaman ini tervalidasi

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal.....!!
Selamat tinggal.....!!

(Deru Campur Debu, 1959)

Introspeksi yang dilakukan dalam hubungan manusia dengan diri sendiri kadangkala membawa diri ke kesadaran bahwa manusia itu tidak sempurna, seperti yang diungkapkan M. Taslim Ali dalam sajaknya "Aku dan Debu". Manusia itu sesungguhnya hanya 'debu' atau sesuatu yang tidak berarti: 'Aku penjelajah gelap dan caya. /Aku debu,/seperti tangis darah dan daging/seperti debu, keluh kakiku,/debu takdir, bedil dan mortir.'(Jassin, 1959: 276). Dari kesadaran yang terungkap dalam sajak "Aku dan Debu" itu tampak bahwa sajak M. Taslim Ali menampilkan citra manusia yang religius, yang sadar bahwa manusia tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran Tuhan. Hal yang sama terdapat juga dalam sajak Mohammad Ali "Aku" yang mengemukakan bahwa manusia akan sengsara dan tidak berarti bila ia menjauhkan diri dari Tuhan.

Manusia yang lemah di hadapan Tuhan itu dikemukakan juga oleh Usmar Ismail dalam sajaknya "Aku pun Masa" (Jassin, 1969:50): 'Sering pabila kalbu sunyi/Terasa nyata lemahku ini/Segala berat menimpa hati/Tiap dayaku terimpit mati.//....//Hanya kau Tuhanku, Pegangan Satu/Meski aku pun masa di dalam kalbu'.

Dalam berintrospeksi manusia kadang-kadang sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Aku lirik dalam sajak Mahatmanto "Dilarang Memetik Bunga", misalnya, yang semula egois dan selalu cemburu pada kebahagiaan orang lain akhirnya sadar dan jemu sendiri dengan sikapnya itu:

.....

Lama-lama aku jadi jemu
bukan oleh bunga
yang sekarang mulai layu

dan bukan oleh tulisan itu
melainkan jemu oleh cemburu

Biarlah! Biarlah dipetik setangkai
akan kembang setangkai yang lain pula

Manusia dan Diri Sendiri

139