Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/149

Halaman ini tervalidasi

Aku tiada hanya mengingat
ke diri sendiri semata.

(Jassin, 1959: 181)

Introspeksi yang dilakukan si aku lirik dalam sajak Mahatmanto di atas akhirnya mengubah sikap dan perilaku si aku lirik. Namun, ketika berintrospeksi, manusia kadang-kadang sadar akan nasib yang menimpanya tanpa bisa mengubah nasib yang telah digariskan kepadanya. Hal seperti itu tampak dalam sajak Chairil Anwar "Cintaku Jauh di Pulau" yang mengungkapkan bahwa meskipun si aku lirik telah berjuang keras untuk meraih cita-cita hidupnya, perjuangan itu akhirnya kandas karena maut telah lebih dulu datang menghadangnya. Bahkan suasana sekitar yang tampaknya mendukung terasa percuma:

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja."

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
Kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Deru Campur Debu, 1959)

140

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960