Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/158

Halaman ini tervalidasi

didominasi corak kerja sama. Hal ini dapat diartikan cerminan masyarakat kita yang lebih mencari keselarasan dengan sesamanya dalam pola hubungan sosialnya.

Dalam hubungan manusia dengan diri sendiri dalam puisi Indonesia periode 1920—1940, corak pengendapan ternyata mengungguli corak konflik batin. Corak konflik batin yang lebih sedikit terungkap itu banyak menghadirkan citra manusia yang tak berdaya, citra manusia yang menjadi korban situasi dirinya.

Itulah gambaran selintas tentang citra manusia yang hadir dan terungkap dalam sajak-sajak Indonesia periode 1920—1940. Dari sejumlah sajak periode 1940—1960 yang dibicarakan itu diperoleh citra manusia sebagai berikut. Pertama, dalam hubungan manusia dan Tuhan tampak adanya citra manusia dengan ketakwaan yang sangat kuat. Ketakwaan itu terlihat dalam gambaran manusia yang beribadah, mengagungkan nama Tuhan, dan mengaku dosa. Pengingkaran terhadap Tuhan tidak dibenarkan oleh para penyair karena manusia yang ingkar pada Tuhan itu digambarkan secara ironis oleh para penyair, misalnya sajak Purwa Atmadja "Surat Talqin" dan sajak Mohammad Ali "Aku".

Kedua, sajak-sajak yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dengan alam pada umumnya menampilkan citra manusia yang cinta pada bangsa dan tanah air, misalnya sajak "Diponegoro", "Krawang—Bekasi", dan "Pahlawan Tak Dikenal". Cinta tanah air adalah perwujudan kedekatan dan kecintaan manusia pada alam. Beberapa penyair juga mengungkapkan alam sebagai alat untuk melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan karena alam dengan keindahan dan kegaibannya memang dapat dipandang sebagai cerminan kebesaran Tuhan. Selain itu, penggambaran alam kadang-kadang juga digunakan penyair sebagai perlambangan kegelisahan jiwa manusia dalam menghadapi permasalahan hidupnya.

Ketiga, dalam hubungan manusia dengan masyarakat tampak adanya citra manusia yang berbakti kepada bangsa dan negara, yang memiliki rasa solidaritas yang kuat terhadap sesama bangsa. Dari rasa solidaritas itu terungkapkan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia saat itu masih menderita karena keadaan sosial ekonomi ketika itu masih menyedihkan. Hal itu, antara lain, ditandai dengan banyaknya manusia yang terpaksa menjual diri di malam hari untuk menyambung hidup. Sementara itu, pengingkaran terhadap masyarakat yang terungkap dalam sajak-sajak periode 1920—1960 mengemukakan penolakan terhadap tradisi masyarakat yang membatasi hak individu orang yang berpikiran maju.

Keempat, dalam hubungan manusia dengan manusia lain sajak-sajak itu umumnya mengemukakan hubungan yang bercorak kerja sama, yang terwujud dalam kasih sayang antara orang tua dan anak, hubungan cinta antara dua kekasih, dan juga hubungan persahabatan. Juga dikemukakan jalinan batin yang

Penutup

149