Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/17

Halaman ini tervalidasi

Saya bertemu dengan Muhammad,
Yang memandang ibadat tiap laku,
Segala tanda gerak hayat,
Dengan syarat ada satu:

Ialah niat, kesadaran hati,
Bahwa sesuatu perbuatan
Dilakukan dengan mengerti,
Bahwa ia disukai Tuhan.

(Kata Hati, 1941)

Larik-larik sajak Rifai Ali di atas memperlihatkan bahwa si aku lirik berusaha mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan duniawinya: segala tanda gerak hayat menjadi ibadat asal perbuatan itu berkenan pada Tuhan karena ia sadar bahwa dalam perjalanan menuju akhirat ia tidak mungkin lepas dari kehidupan duniawi. Dengan demikian, di sini kita dapatkan citra manusia yang beriman, yang memandang tiap lakunya sebagai bagian dari ibadahnya.

Masih dari penyair yang sama, melalui sajak "Manusia" penyair mengungkapkan kehebatan dan keunggulan manusia dibandingkan makhluk yang lain. Namun, manusia tetap saja tidak mampu menghindari kematian. Jika kematian manusia adalah cermin kekuasaan Ilahi, berarti manusia tidak akan pernah mampu mengatasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan: kehidupan manusia hanya perwujudan bayang-bayang kebesaran-Nya ('Betul sempurna wujud insani:/Gaib pendapat akal dan budi/Tidak termakan dirasa hati:/Kematian manusia punah bak api!')- Dengan demikian, melalui sajak "Manusia" terungkap citra manusia yang tidak takabur, manusia yang beriman, manusia yang selalu ingat dan sadar bahwa manusia bukanlah apa-apa dalam kebesaran dan kekuasaan-Nya.{

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia akan selalu berupaya mematuhi ajaran-ajaran-Nya dan menerima dengan pasrah semua yang telah ditakdirkan-Nya. Dalam salah satu sajak Rifai Ali "Iradat Ilahi", hal itu terungkap:

Kalau aku dikirimkan Allah
Sebagai hadiah ke ibu lemah.
Inilah tanda, ini isyarah
Ujud hidupku penyumbat susah.

Bukan penindih ibu yang letih,
Penambah pedih pelukai perih,

8

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960