Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/18

Halaman ini tervalidasi

Malah pembela sebagai Almasih,
Begini iradat Tuhan Pengasih.

(Kata Hati, 1941)

Dari larik-larik sajak "Iradat Ilahi" tampak bahwa aku lirik adalah manusia yang tawakal karena imannya pada Yang Mahakuasa. Ia sama sekali tidak mengeluh walaupun hidup dalam kemiskinan. Sebaliknya, ia merasa bersyukur dan berbahagia karena merasa diri dikirimkan Allah sebagai hadiah untuk ibu yang lemah dan menderita. Dengan demikian, penderitaannya dirasakan sebagai rahmat.

Kepasrahan pada takdir, seperti terlihat dalam sajak "Iradat Ilahi" Rifai Ali juga tampak dalam sajak "Kematian Anak" A. Hasjmy dan "Biarkan Daku Kembali Pulang" Hamka. Dalam sajak "Biarkan Daku Kembali Pulang", kematian adalah panggilan Tuhan yang tidak perlu ditangisi (Tegahkan anak-anak itu menangis,/Larang orang-orang itu meratap,/Ah, aku mesti pergi, panggilan Tuhanku telah datang,/Aku telah berangkat jauh,/Kamu meratap, kamu menangis, di dekat tubuh kasarku.'); sedangkan dalam sajak "Kematian Anak", si aku lirik semula menyedihkan kematian anaknya, tetapi akhirnya insaf bahwa hal itu merupakan takdir Ilahi:

Insaflah bunda akan hakiki:
Bukan umur jadi ukuran,
Bila sampai janji Ilahi,
Jiwa melayang 'ninggalkan badan.

(Dewan Sajak, 1940)

Kehidupan—seperti halnya kematian—senantiasa berada dalam kekuasaan Tuhan: Tuhanlah yang menentukan segalanya, termasuk kehidupan dan kematian. Dalam sajak "Hidup" Samadi, hidup di dunia digambarkan sebagai sesuatu yang sangat singkat sehingga tidak selayaknya manusia terpaku pada kehidupan yang bersifat duniawi.

Ketika lahir disambut ebang,
Ketika mati dilepas salat,
antara azan dengan sembahyang,
Wahai hidup, alangkah singkat!

Datang ke dunia telanjang bulat,
Pulang hanya berkain kafan,

Manusia dan Tuhan

9