Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/19

Halaman ini tervalidasi

Jangan ke alam hati tertambat,
Alam tak dapat menolong badan!

(Senandung Hidup, 1941)

Dari larik-larik sajak "Hidup" tampak bahwa hidup bagaikan jarak waktu antara azan dan sembahyang yang begitu singkat. Namun, sesungguhnya sajak "Hidup" tidak hanya mengungkapkan masalah kehidupan yang amat pendek. Melalui larik-larik 'Ketika lahir disambut ebang,/Ketika mati dilepas salat,/Antara azan dengan sembahyang,/Wahai hidup, alangkah singkat!' terbayang bahwa kehidupan yang pendek itu harus dipenuhi dengan penyerahan diri kepada Tuhan dan agama.

Penyerahan diri kepada Tuhan itulah yang membuat manusia tabah dalam menghadapi kehidupan di dunia ini: apa pun kata orang, apa pun hinaan orang, tidak akan mengecilkan hati, seperti terungkap dalam sajak Samadi berikut ini, "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan".

Asal tak hina di sisi Tuhan,
Biarlah hina di mata dunia,
Dalam mencari ridla Ilahi.

(Senandung Hidup, 1941)

Dua sajak Samadi di atas, "Hidup" dan "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan", menampakkan citra manusia yang takwa dan berbakti kepada Allah. Manusia yang takwa dan berserah diri kepada Allah itu akan menemukan kebahagiaan yang sejati, yang tak kunjung habis, seperti terungkap dalam salah satu sajak Samadi, "Cinta" berikut.

Dengan kepenuhan hatimu
Di dalam kefanaan,
Dengan seluruh jiwamu
Di dalam kesucian,
Benamkanlah cintamu
Wahai teman,
Ke dalam kebakaan.
Maka akan tersualah olehmu
Bahagia yang tidak berkesudahan.

(Senandung Hidup, 1941)

10

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960