Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/21

Halaman ini tervalidasi

Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja.

(Suryadi AG., 1987a: 61—62)

Dibandingkan dengan sajak Intoyo, "Di Mana Tempat Cinta Sejati ...?" sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Kepada Kaum Mistik" lebih memperlihatkan kesadaran akan etos kerja('Sebab Tuhanku segala gerak dan kerja'). Oleh karena itu, citra manusia yang terdapat dalam sajak "Kepada Kaum Mistik" adalah citra manusia yang beriman dan bertanggung jawab. Bertanggung jawab di sini adalah tanggung jawab vertikal dan horisontal, dalam arti sebagai manusia beriman aku lirik bertakwa kepada Tuhannya, tetapi ketakwaannya itu juga diisi dengan kerja sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada masyarakat yang melingkungi hidupnya di dunia ini. Dapat juga dikatakan bahwa keimanannya itu memberikan kepadanya motivasi kerja, semangat kerja sehingga aku lirik merasa berbahagia dan merasa menemukan Tuhannya dalam lingkungan yang penuh dengan gerak kerja, tidak lagi menjadi persoalan Tuhan ada di mana 'Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana/Di ujung kuku yang gugur digunting/Pada kelapa kering yang gugur ke tanah/Pada matahari yang panas membakar.'

Kerahmanan Tuhan selalu ada di mana saja. Rustam Effendi melalui sajaknya "Tengah Malam" menunjukkan bahwa kegelisahan yang dialami aku lirik karena kerinduan pada kekasihnya justru menuntunnya untuk bertemu dengan Tuhannya

Tengah malam
mata mengalir, tubuh menggigir.
Menyerbu, sayu dan rayu, ke dalam kalbu.
Wah jahatnya kenangan:
resah risau tiada keruan,

Tengah malam
aku mendamba kepada sa'at,
yang membawa jiwa ke hadirat Tuhan.
Wah besar gembira beta,
Alam silam, Malam bertakhta.

(Percikan Permenung, 1926)

'Alam silam, Malam bertakhta.' menunjukkan bahwa si aku lirik dalam kegelisahannya selalu ingat Tuhannya: ia menemukan kegembiraannya setelah

12

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960