Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/27

Halaman ini tervalidasi

Adalah cinta ini bara
dan bara yang menghangus dada.

(Gema Lembah Cahaya, 1963)

Dalam sajak di atas, si aku lirik merasa kegiatan ibadahnya pada malam-malam bulan suci Ramadan, telah membuka jiwanya untuk menerima limpahan cahaya Ilahi. Penyair mengibaratkannya sebagai siraman air terhadap 'segala karang-karang rindu'.

Memberi makna bagi kehidupan selama hayat masih dikandung badan juga terungkap dalam sajak-sajak Subagio Sastrowardojo. Penyair ini melihat bahwa kehidupan yang bermakna merupakan suatu rahmat Tuhan yang memberikan kelegaan pada bumi yang semakin padat penghuninya. Si aku lirik dalam sajaknya "Burung" melihat bahwa kehidupan burung yang bebas tanpa gangguan merupakan 'Serintis angin/berembus di pinggir bumi.//Hidup jadi berarti dan/keramat.' Sajak "Burung" Subagio Sastrowardojo lengkapnya demikian:

BURUNG


Burung
masih dekat dengan malaikat
karena berbisik dengan kepak
dalam basa
asing tertangkap.
Lagu tak berkata mendesir
di mula dan akhir hari.
Serintis angin
berembus di pinggir bumi.
Hidup jadi berarti dan
keramat.

(Simphoni, 1957)

2.3 Citra Manusia yang Mencari Tuhan

Manusia pada umumnya menerima begitu saja firman dan kekuasaan Tuhan. Firman Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang wajib diamalkan dalam kehidupan di dunia karena Tuhan adalah sesuatu yang lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kuasa dari manusia sehingga manusia hanya mampu hanyut dan pasrah dalam kuasa-Nya dan menjadi patuh kepada-Nya. Oleh karena itu, dalam citra manusia religius yang pasrah dan berserah diri kepada Tuhan itu biasanya terbayang citra manusia yang takwa, yang sedikit pun tidak menggugat firman

18

Citra Manusia dalam Puisi Modem Indonesia 1920-1960