Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/29

Halaman ini tervalidasi

Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.

(Pujangga Baru, VIII/12, Juni 1941)

Alam yang luas indah, yang disaksikan si aku lirik, seolah percuma saja tanpa hidup yang bertentu tuju. Terasa ada sesuatu yang belum kesampaian, yang belum sempurna. Karena itu, dalam sajak "Hanya Satu"—masih dari penyair yang sama–bait terakhir berbunyi demikian.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musa di puncak Tursina

(Pujangga Baru, V/5, November 1937)

Si aku lirik merasa kepastian hidup, kesempurnaan hidup, hanya mungkin terwujud bila berdekatan dengan-Nya. Tanpa kedekatan dengan-Nya, hidup terasa mengambang, tanpa pegangan, dan barangkaii sia-sia. Kedekatan dengan Tuhan yang kekasih itu bagi si aku lirik adalah segalanya sehingga dalam sajak "Doa" Amir Hamzah menyingkapkan suasana hati si aku lirik ketika bertemu dengan Kekasihnya, demikian:

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

(Pujangga Baru, V/5, November 1937)

Manusia yang tawakal, yang senantiasa mendambakan siraman kasih-Nya

20

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960