yang mengingkari kekuasaan Tuhan. Trisno Sumardjo, misalnya, mengemukakan gambaran keserakahan manusia tersebut sebagai berikut.
FANA
Ia berdiri di depan yang Hakiki
bagaikan musim pantang berganti;
saingan bumi, teladan matahari,
dialah dewa pujaan dewa-dewi.
Ia rekahkan langit, suaranya bergegar;
matanya bersinaran dahsyat memancar;
dibuatnya hawa ingar hingar
dibikinnya bumi bergeletar.
Tetapi ketika Sang Hakiki mencabut nafasnya,
ia pecah bagai debu, tak ada bekasnya.(Silhuet, tanpa tahun)
Dalam sajak "Fana" itu penyair melukiskan citra manusia yang lupa akan hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Padahal, manusia itu sesungguhnya insan yang tak berarti apa-apa kecuali dalam iradat-Nya.
Mohammad Ali secara lugas melukiskan bagaimana akhir nasib manusia yang terlalu memuja dunia benda, 'menukar Tuhan lama yang hanya/kasih janji-janji manis dan hari-hari kecewa/dengan Tuhan baru: besi dan bisa/yang bisa rombak segala rahasia/sekali kata'. Akan tetapi, ketika "Tuhan baru" itu direbut ('dicopet') orang, ia pun tumbang dan menghadapi jalan buntu. Manusia yan terungkap dalam sajak itu adalah manusia yang takabur, seperti juga yang dilukiskan Mohammad Ali dalam sajak "Aku" berikut ini.
AKU
Aku yang pernah tujuh kali
telentang bangun
mengejar setetes anggur,
menukar Tuhan lama yang hanya
kasi janji-janji manis dan hari-hari kecewa
dengan Tuhan baru: besi dan bisa
yang bisa rombak segala rahasia
sekali kata
Manusia dan Tuhan
27