Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/38

Halaman ini tervalidasi

terlunta-lunta. Ia diusir ke sana kemari dan akhirnya tercampak kembali ke dunia, alam fana yang ketika hidupnya diyakini sebagai sesuatu yang baka, yang kekal. Ia menjadi roh gentayangan yang terlunta-lunta di alam barzah.

Dalam periode 50-an sajak-sajak yang mengungkapkan penentangan dalam wujud pengingkaran dan ketakpatuhan kepada Tuhan hanya tampak pada beberapa sajak. Gambaran ketidakpatuhan itu sesungguhnya berawal dari kegelisahan penyair melihat kenyataan yang dihadapi. Dengan demikian, sebenarnya isinya merupakan himbauan agar kembali kepada fitrah, kembali kepada kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dan mengharapkan kekuatan kepada Sang Pencipta.

Subagio Satrowardojo dalam sajaknya "Dewa Telah Mati" menunjukkan bahwa dunia modern dengan mudah dapat membuat manusia lupa pada hakikat dirinya. Ia mudah terjebak ke dalam tuntutan-tuntutan duniawi yang tidak pernah habis. Penyair menyebut kehidupan yang demikian itu bagaikan pelacur yang menawarkan kepalsuan:

....
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari

(Simphoni, 1957)

Keingkaran terhadap Tuhan sesungguhnya sangat menakutkan. Oleh karena itu, penyair dalam sajaknya "Sodom dan Gomorrha" membayangkan kembali kutukan yang pernah dijatuhkan Tuhan kepada penduduk Sodom dan Gomorrha: keingkaran yang tak lagi terampuni karena mereka alpa dan mabuk dengan kehidupan duniawi, seperti dikisahkan dalam Kitab Injil dan terungkap dalam larik-larik berikut ini.

Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air.

(Simphoni, 1957)

Manusia dan Tuhan

29