Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/43

Halaman ini tervalidasi

menerima apa yang akan terjadi dalam dunia ini, seperti dinyatakan larik-larik sajak "Di Kaki Gunung" Mozasa:

....

Di sini sunyi alam selalu
tempat burung terbang berkibar
tempat dunia tabah menunggu
menanti hidup kan romok mekar.

Di sini sunyi alam selalu
di sini rindu menampung sinar ...

(Pujangga Baru, No. 10, Th. IV, April 1937)

Bila dalam ketiga sajak tersebut tadi kebersatuan manusia dengan alam ditandai dengan kepasrahan dalam menerima dan menghadapi gejala dan isyarat alam, sajak-sajak berikut mengungkapkan keterkaitan dan ketergantungan manusia pada alam sebagai wujud menyatunya manusia dengan alam. Misalnya, sajak Asmara Hadi, "Selamat Tinggal Priangan". Sajak ini berkisah tentang keterpautan hati si aku lirik pada tanah kelahirannya, Priangan. Bukit dan gunung yang hijau berkilau, sawah yang bersusun-susun, alam yang indah, semua itu melekat di hati si aku lirik. Namun, tempat lain memanggilnya meninggalkan tanah kecintaannya, seperti terungkap di bait pertama:

Taman sari, tanah Priangan
Sekarang ini berpisah kita
Karena api hampir berjalan
Selamat tinggal alam jelita,
Negeri lain datang meminta,

Engkau kan hanya tinggal kenangan,
Tempat, di mana mendapat cinta
Akan selalu terangan-angan.

(Pujangga Baru, No. 12. Juni 1934, Th. I)

Sajak "Selamat Tinggal Priangan" Asmara Hadi mengungkapkan keterpautan batin si aku lirik dengan alam karena keindahan alam yang mempesonanya. Sajak berikut ini, "Nelayan Sangihe", karya J.E. Tatengkeng, berkisah tentang keterpautan batin si aku lirik pada alam lingkungannya karena sadar bahwa alam

34

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960