Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/44

Halaman ini tervalidasi

itu sesuatu yang besar dan menafkahinya:

....

O, kumengerti,
Kulihat di sana setitik api!
Itukah menarik matamu ke tepi,
Mengharu hati?

O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata,
Menghubung hati,
Kalbu nelayan di laut bercinta ...

(Rindu Dendam, 1934)

Sajak yang hampir serupa dengan sajak J.E. Tatengkeng, "Nelayan Sangihe", adalah sajak Mozasa, "Harapanku": seorang petani miskin yang berbesar hati melihat bulir-bulir padi menghampar di depan matanya, seperti terungkap berikut ini.

....

Berapa bahagia diriku kini!
Segala kecantikan alam rantau huma
teruntuk buatku seorang,
seorang peladang papa.

....

(Pujangga Baru, Th. II, No. 4, Oktober 1934)

Dari larik-larik di atas tampak bahwa si aku lirik mensyukuri keindahan dan kebesaran alam yang menafkahinya. Kemiskinan, kepapaan tidak lagi menjadi masalah baginya. Karunia alam yang mengalir padanya terasa sebagai suatu nikmat. Dengan demikian, di sini kita temukan citra manusia yang lebur dengan alam dan yang pasrah dalam kekuasaan alam karena meyakini bahwa alam itu menghidupinya.

Kerinduan pada kehidupan yang sederhana, yang alami, yang bertumpu pada harapan-harapan yang sederhana dan dalam gerak hidup yang tidak tergesa terbayang dalam sajak Sitor Situmorang "Senja di Desa":

Manusia dan Alam

35