Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/45

Halaman ini tervalidasi

Senja di desa-desa
Antara kampung-kampung
dan matahari dijunjung
gadis-gadis remaja:
periuk bundar-bundar
tanah liat terbakar
tempaan tukang tua
matahari senja.

Antara sumber air
dan gerbang perkampungan
terlena jalan pasir
pulang dari pancuran ...
gadis-gadis remaja:
Bulan di kepalanya.

(Dalam Sajak, 1955)

Dalam sajak di atas penyair melukiskan suasana senja hari di pedesaan pegunungan. Matahari senja yang akan tenggelam ke balik bukit terasa begitu rendah sehingga gadis-gadis yang akan mandi dan mengambil air di pancuran dengan menjunjung tempayan di kepala seolah-olah ikut menjunjung matahari dengan semburan warna-warni pelangi senja. Mereka melihat keindahan panorama senja karena mereka begitu menyatu dengan alam. Dilukiskan dalam sajak itu, antara gerbang kampung dan sumber air terdapat jalan pasir. Itulah jalan yang mereka lalui sehari-hari untuk mandi dan mengambil air. Dalam lukisan gadis-gadis turun ke pancuran dan kembali ke rumah masing-masing sambil menjunjung tempayan yang telah berisi air itu terasa gambaran gerak yang tidak tergesa. Jalan pasir yang mereka lalui 'terlena' sebagaimana para gadis itu tak lebih panjang bayangan hari depannya dari jalan pasir yang terbentang antara gerbang kampung dan pancuran: 'gadis-gadis remaja:/Bulan di kepalanya'. Dengan demikian, tuntutan hidup mereka masih sederhana: nanti setelah mereka berumah tangga tempayan itu masih setia di kepalanya. Itulah kebahagiaan hidup yang mereka nantikan, mendapatkan suami yang dapat membahagiakannya. Jadi, dalam sajak Sitor ini kita temukan citra manusia yang demikian dekat, akrab, dan menyatu dengan alam.

Ramadhan K.H. dalam sajaknya "Tanah Kelahiran 1" mengungkapkan bahwa keindahan tanah kelahiran baru terasa ketika manusia berada jauh di tanah asing. Kerinduan untuk menghirup udara segar pegunungan, menikmati kemilau embun pagi di pucuk-pucuk daun, jalan setapak yang berkelok, terasa memenuhi dada dan mengundang rasa keindahan tersendiri. Penyair mengungkapkannya demikian.

36

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960