Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/49

Halaman ini tervalidasi

....

O, tanah airku yang sangat kaya,
bergoa penyimpan logam,
berkolam penerang malam,
bersungai berbatu ratna
lautan menyimpan harta mutiara
O, tanah airku yang sangat kaya.

O, tanah airku yang sangat subur
bertikar bersawah padi,
berladang berkebun kopi,
Berharta di dalam hutan,
membuah usaha bukan buatan.
O, tanah airku yang sangat subur

....

(Percikan Permenungan, 1926)

Larik-larik sajak "Tanah Air" di atas menampakkan puji-pujian pada kekayaan dan kesuburan tanah air. Namun, sajak Rustam Effendi tidak hanya berhenti pada puji-pujian pada kesuburan tanah air. Dalam sajaknya itu, kecintaan si aku lirik pada tanah airnya juga diperlihatkan dengan upaya keras untuk mengolah kekayaan dan kesuburan tanah airnya ('..../membuah usaha bukan buatan,/O, tanah airku yang sangat subur'). Dengan demikian, di sini tampak citra manusia yang berupaya mendayagunakan karunia alam.

Jika dalam sajak-sajak di atas para penyair mengungkapkan corak pendayagunaan alam dengan jalan menampilkan niatan tokoh lirik untuk menggarap karunia alam, sajak-sajak berikut menghadirkan permasalahan pendayagunaan alam dengan warna yang lain. Alam dipandang sebagai sesuatu yang melahirkan kontemplasi bahwa alam itu sumber inspirasi yang mewarnai kehidupan kita. Singkatnya, alam dipandang sebagai suatu teladan dalam memberi makna pada kehidupan ini, seperti dinyatakan Hamidah dalam bait terakhir sajak "Taman Pujangga":

O, bunga teruslah 'gaimana sediakala
jadi suguhan orang yang lalu
O, burung teruslah berlagu
Menggelora dari getaran jiwa.

(Suryadi AG., 1987a: 209)

40

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960