Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/51

Halaman ini tervalidasi

Dalam sajak "Kepada Angin" di atas terlihat bahwa alam itu merupakan cerminan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pencipta, Angin dalam sajak tersebut dapat berlaku garang, bisa pula berlaku lembut. Kegarangan dan kelembutan alam itu dapat dikatakan sebagai isyarat Tuhan dalam berhubungan dengan manusia, tetapi alam dan kedahsyatan geraknya itu bukan Tuhan, seperti dinyatakan dalam bait terakhir.

Kini kutahu
kenapa insan jahiliah, dalam kagumnya,
menjulangkan doa dan puja,

pengemis restu pada cerpumu:
Mereka tuli bagai zamannya, buta,
menyangka Kau Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, dalam sajak "Kepada Angin" tersirat bahwa manusia seharusnya mampu membaca gerak dan laku alam, tidak buta terhadap isyarat Tuhan yang dicerminkan melalui gerak dan laku alam itu. Barangkali benar bahwa gejala-gejala alam itu suatu misteri yang tak terpahamkan, yang selalu penuh rahasia, sehingga manusia terkurung dalam pertanyaan-pertanyaan ketika berhadapan dengan alam, seperti dinyatakan Maria Amin dalam prosa lirisnya "Penuh Rahasia":

....

Mengapa mega kau ta' bersolek lagi? Mengapa langit
melengkung putih kebiruan menolak warna? Mengapa isi
'alam sunyi diam menyambut perubahan siang dan malam?
Bukankah di balik perubahan yang dingin mati disambut
angin bayu menyegar tubuh? Bukankah caya kuning sepuhan
emas nyala bernyala bergantikan sepuhan perak putih ber-
seri merayukan hati? Akh, bukankah si Raja Siang yang
gagah perkasa yang memerintah selama siang itu, diganti
oleh si Dewi Malam? Si Cantik manis akan memerintah se-
malaman dengan belaian sinar yang lembut itu. Dan di sisi
sepuhan perak, berkilau kerlipan permata terhampar di
beledu biru, bersukaria bermain caya.

Bukankah, bukankah ribuan permata intan berlian,
tanding bertanding menguji caya, siapa terindah di antara

42

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960