Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/53

Halaman ini tervalidasi

digambarkan harapan-harapannya, cita-citanya, ambisinya, ketakaburannya, dan seterusnya. Dengan demikian, pohon mangga—alam pada umumnya—menjadi sesuatu yang reflektif, tempat manusia berpaling dan berdialog dengannya untuk menemukan diri manusia itu: mengenali kelemahan, ketakaburan, kepahitan, harapan, ambisinya, dan seterusnya. Dan, alam yang selalu bungkam pun akan kita tangkap bahasanya ('O Tuhan, kalau pohon mangga pandai berbicara tentu dia akan bercerita apa yang telah dideritanya waktu tumbuhnya.'). Kalau saja alam pandai berbicara barangkali manusia lebih bisa menangkap semua isyarat alam. Namun, agaknya tak mungkin kita mengharapkan alam memperkatakan dirinya. Untuk itu, berdialog dan bercermin pada alam adalah salah satu upaya manusia dalam mendayagunakan alam, memetik semua nilai yang terkandung dalam alam.

Dengan berdialog pada alam itu, alam yang ganas pun akan tetap memberikan hikmah, tidak mematahkan semangat, seperti diungkapkan Sitor Situmorang dalam sajaknya "Pulau Samosir":

Angin bohorok
Bertiup di lereng bukit
Membawa kekeringan
Membawa kematangan

....

(Dalam Sajak, 1955)

Pulau Samosir yang kering, tandus, berbatu-batu, dan angin bohorok yang memusnahkan tanaman penduduk tidak mengikis harapan hidup penghuni Pulau Samosir, malahan mematangkan sikap mereka. Mereka menjadi tegar dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan alam—menjadi 'bangsa pembajak/lembah-lembah kelabu'. Dengan demikian, dalam sajak "Pulau Samosir" tersebut kita dapatkan citra manusia yang berhasil menaklukkan alam, manusia yang matang oleh tempaan alam.

Apabila dalam sajak "Pulau Samosir" Sitor kita dapatkan citra manusia yang matang karena tempaan alam yang keras, dalam sajak "Tanah Air II" Ajip Rosidi mengemukakan bahwa alam Indonesia yang kaya-raya belum didayagunakan sepenuhnya. Alam Indonesia yang indah itu diibaratkan sebagai seorang gadis jelita yang tertidur pulas. Keindahan tubuhnya yang penuh pesona itu belum dijamah, belum dimanfaatkan untuk kepentingan masa depan kehidupan manusia, karena manusia-manusia yang ada belum sepenuhnya berhasil menaklukkan dan memanfaatkan kekayaan alam itu. Sajak Ajip Rosidi tersebut lengkapnya demikian.

44

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960