Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/63

Halaman ini tervalidasi

Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
....

Selama mentari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
....

(Suryadi AG., 1987a: 27—29)

Cita-cita dalam suatu masyarakat yang belum tercapai mengakibatkan masyarakat atau anggotanya menjadi resah. Akan tetapi, keresahan itu akhirnya pupus karena adanya secercah harapan bahwa cita-cita itu. kemerdekaan itu pada saatnya akan datang, seperti diungkapkan Armijn Pane dalam sajaknya "Bintang Merdeka":

Dari jendela aku meninjau,
Bayangan pohon menggelap di mukaku,
Memagar hati dan pandanganku,
Hati mengeluh bertambah rusuh.

Mata menembus ke tempat jauh,
Bintang gemerlap di kelir putih,
Hati pun lega, mengimbau harapan,
Tenaga bertambah hendak berjuang.

Tegap dada korbankan tenaga,
Tembus keluh dan rusuh,
Tujukan mata ke tempat tujuan,
Di sana bersinar bintang merdeka.

{Gamelan Jiwa, 1960)

Obsesi kemerdekaan yang menyala-nyala—yang banyak terdapat dalam sajak-sajak Indonesia periode 1920—1940—adalah pertanda api patriotisme, semangat cinta tanah air yang berkobar-kobar di dada para penyair kita. Kecintaan yang dalam pada tanah air itu melahirkan rasa duka si aku lirik yang dimunculkan penyair ketika menyaksikan penderitaan rakyat, seperti tampak dalam sajak A. Hasjmy, "Tanah Ibuku:"

54

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960