Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/65

Halaman ini tervalidasi

yang membayangi tanah air karena berada dalam belenggu penjajahan, menjadi obsesi yang menggugah para penyair masa sebelum kemerdekaan. Rustam Effendi, misalnya, lewat sajaknya "Mengeluh" menghadirkan sosok manusia yang mencita-citakan kemerdekaan negerinya, kebebasan rakyatnya, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.

Bilakah bumi bertabur bunga,
disebarkan tangan yang tiada terikat,
dipetik jari, yang lemah lembut,
ditanai sayap kemerdekaan rakyat?

(Percikan Permenungan, 1953)

Sosok manusia yang mengangankan masa gemilang tanah airnya disertai kerelaan berkorban untuk tanah airnya membayang pula dalam sajak Hamidah, "Dengarkan...!":

Inilah yang beta nanti
Moga datang sinar nyaman
Dari balik gunung yang diam
O, Puspa berserilah dalam pelukan pagi.

(Suryadi AG., 1987a: 207—208)

Penderitaan rakyat yang terbayang-bayang, entah itu karena situasi penjajahan ataupun situasi lain, mengakibatkan banyak tokoh lirik yang larut dalam semangat perjuangan—perjuangan untuk kemerdekaan, untuk kehidupan baru yang lebih cerah. Paling tidak, situasi zaman telah mengilhami bara api perjuangan, seperti terbaca dalam sajak Asmara Hadi, "Hidup Baru".

Hidup baru berkobar dalamku
Segala indah dalam pandangan
Hidup zamanku jadi ilhamku
Zaman yang penuh perjuangan.

(Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

Keinginan berjuang untuk satu cita-cita mulia, pada gilirannya, melahirkan sosok manusia yang mengabdi secara penuh tanpa mengharapkan pamrih. Pengabdian yang dilakukan secara penuh itu ibarat perbuatan seorang penabur, yang senantiasa menaburkan benih tanpa memetik hasilnya. Seandainya ada hasil

56

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960