Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/66

Halaman ini tervalidasi

yang dapat dipetik, itu hanyalah kebahagiaan batin karena telah berjasa untuk masyarakat luas. Demikian yang terungkap dalam sajak Asmara Hadi, "Kami Penabur":

Kami bekerja di padang masa
Menabur benih cinta
Yang nanti akan senantiasa
Semerbakkan wangi bahagia-dunia

Tapi kami hanyalah penabur
Bila dunia berbahagia nanti
Kami sudah lama berkubur
Tiada dapat merasai lagi

Sungguhpun begitu kami ikhlas
Bekerja sekarang di padang masa
Kami tiada harapan balas
Bahagia kami ialah berjasa

(Pelopor Gerindo, April—Mei 1937)

Tahun-tahun 1940—1960 merupakan tahun-tahun revolusi yang membutuhkan pengorbanan sekaligus semangat berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, mengisi, dan mempertahankannya. Kurun waktu tersebut juga merupakan ujian terberat bagi bangsa Indonesia yang baru saja memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945. Oleh karena itu, berbagai bentuk ekspresi perjuangan dapat ditemukan, baik secara fisik maupun nonfisik.

Di antara para penyair yang muncul sekitar kurun waktu itu, antara lain, adalah Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, B.H. Lubis, Amal Hamzah, Anas Ma'ruf, Bung Usman, Rendra, Ajip Rosidi, dan Subagio Sastrowardoyo. Pikiran-pikiran, ide-ide yang mereka lontarkan mencerminkan perjuangan, pengabdian, dan sekaligus ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang ada.

Pikiran yang terungkap dalam sajak-sajak para penyair periode 1940—1960 memperlihatkan solidaritas, pengorbanan, dan ketabahan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Semangat pengabdian yang tergambar dalam sajak-sajak yang muncul ketika itu terlihat sebagai nafas patriotisme dan solidaritas, seperti terungkap dalam sajak-sajak Chairul Anwar, Rosihan Anwar, dan B.H. Lubis, ataupun penyair-penyair lain yang hadir pada masa itu.

Dalam "Krawang-Bekasi", misalnya, Chairil Anwar dengan berapi-api

Manusia dan Masyarakat

57