Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/85

Halaman ini tervalidasi

Padahal, seperti terungkap dalam "Bulan Ruwah"—Tuhan lebih menuntut amal nyata di dunia ini, bukan hal-hal remeh yang bersifat keduniaan, yang justru lebih menyita perhatian manusia. Dengan demikian, dalam sajak "Bulan Ruwah" terungkap citra manusia yang belum menemukan jalan Illahi, manusia yang masih terkungkung dalam urusan duniawi.

Citra manusia yang terpaku pada kehidupan duniawi terungkap pula dalam sajak Subagio Sastrowardoyo yang lain, "Simphoni". Dalam sajak itu keterpakuan manusia pada kehidupan duniawi menjadikannya buta, tidak lagi mampu membedakan antara kemajuan dan kemunduran.

SIMPHONI


...
Katakanlah
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan
bang dan gedung
dari candi atau mesjid,

kalau kita lebih menimbang kasih orang
dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang—atau kemunduran?
...

(Simphoni, 1957)

Di samping tema protes sosial, tema keresahan sosial banyak mewarnai puisi periode 1940—1960. Di antara para penyair yang banyak mengangkat tema keresahan sosial saat itu adalah Rendra dan Ajip Rosidi.

Salah satu tema keresahan sosial yang diangkat adalah yang berkaitan dengan masalah pelacuran yang pada umumnya disebabkan oleh tekanan ekonomi dan yang keberadaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, menimbulkan keresahan masyarakat. Ajip Rosidi lewat sajaknya "Upik" mengungkapkan hal itu:

UPIK


Jalang mata derita tergores keras
senyumnya terbayang kehidupan malam

76

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960