Kecintaan pada anak itu juga terungkap dalam sajak Hamka, "Dalam Penjara": Di hari raya, dalam penjara, seorang ayah yang ditahan karena membela tanah airnya, terkenang akan anak istrinya. Betapa sayang si ayah pada anak-anak dan istrinya itu, terbayang dalam bait-bait ini:
Kalau sentana orang lain, anakku!
Ayah kirimi engkau baju dan kain, pakaian di Hari Raya
Tapi, ciumlah tangan ibumu,
Bimbinglah tangan adikmu.
Pakailah apa yang ada, dan pergilah ke mesjid!
Pakaian ayahmu banya pakaian orang rantai.
Ayah teringat dikau anakku,
Abang tersedar engkau istriku.
Ingat sahabat dan handai tolan, aku ingat rumah tanggamu.
Di mana Matahari tanah airku memancarkan sinarnya.
Sedang aku sendiri, dilingkung oleh tembok yang tinggi
Dihambat oleh dinding yang pucat.
O diri, berhentilah engkau mengeluh.
Air mata! berhentilah engkau jatuh!
Bukan lantaran mencuri aku dipenjara,
Bukan lantaran merampok aku masuk bui,
Tapi buat kehormatan 'ku, o ummat!
Buat kemuliaan tumpah darahmu!
Berhentilah menangis anak,
Pakailah pakaian apa yang ada
Sekalah air matamu, o buah hatiku!
Doakan abang lekas pulang ....(Pedoman Masyarakat, 11/41—42, 10 Desember 1936)
Dari larik-larik di atas terbaca citra seorang laki-laki pejuang yang juga seorang bapak yang bertanggungjawab dan sayang pada anak istrinya. la rela berkorban untuk keduanya: tanah air dan keluarga.
Sajak A.M.Dg. Mijala berikut, "Buruh", menampilkan pula sosok seorang suami yang cinta dan setia pada istrinya. Karena cintanya pada istrinya, segala bebannya sebagai seorang buruh dijalaninya dengan tabah. Pahit getir sebagai seorang buruh tidak begitu terasa karena ia pun tahu istrinya selalu setia mendampinginya dalam situasi apa pun, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.
84
Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960