Halaman:Eksistensi Bahasa Minangkabau Dalam Keluarga Muda Minang Di Kota Padang.pdf/38

Halaman ini belum diuji baca

masyarakat dengan kedwibahasaan tanpa diglosia, (3) masyarakat dengan diglosia, tetapi tanpa kedwibahasaan, dan (4) masyarakat yang tanpa diglosia dan tanpa kedwibahasaan.

2.2.2.2 Alih Kode

Appel (dalam Chaer, 2004:106) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena terjadinya perubahan situasi. Dengan menyajikan beberapa ilustrasi tentang alih kode, lebih lanjut ia mengatakan bahwa alih kode lebih mempunyai fungsi sosial.

Hymes (dalam Chaer, 2004:107) menyatakan pula bahwa alih kode itu tidak hanya terjadi pada antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi pada antarragam atau gaya yang terdapat dalam satu bahasa.

2.2.2.3 Campur Kode

Chaer (2004:114) mengatakan bahwa pembicaraan tentang alih kode biasanya diikuti oleh pembicaraan tentang campur kode. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan karena kedua peristiwa itu lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual. Dengan tegas ia menyatakan bahwa sangat sulit membedakan antara alih kode dan campur kode. Untuk membedakan kedua hal itu, berikut ini dikutip beberapa pendapat. Thelander (1976:103) mengatakan bahwa apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Akan tetapi, apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa yang digunakan terdiri atas klausa maupun frasa campuran dan masing-masing klausa dan frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri-sendiri, peristiwa yang

terjadi adalah campur kode.

20