Halaman:Eksistensi Bahasa Minangkabau Dalam Keluarga Muda Minang Di Kota Padang.pdf/40

Halaman ini belum diuji baca

ini, Ervin dan Osgood (dalam Chaer, 2004:121) menyebutnya sebagai penutur yang mempunyai kemampuan berbahasa yang sejajar, sedangkan penutur yang kemampuan bahasa B2-nya jauh lebih rendah daripada B1-nya disebut berkemampuan bahasa majemuk. Penutur ini mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan dipengaruhi oleh B1-nya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya interferensi. Nababan (1984) menyebut interferensi itu sebagai 'pengacauan'. Hartman dan Stork (1972:115) tidak menyebutnya sebagai “pengacauan', tetapi sebagai 'kekeliruan' karena kebiasaan dalam B1 yang terbawa-bawa ke dalam B2 atau dialek kedua.

Lebih jauh, Chaer (2004:122), berdasarkan diagram yang dibuatnya, mengklasifikasi interferensi ke dalam 2 bagian, yaitu interferensi reseptif dan interferensi produktif. Interferensi reseptif adalah penggunaan B2 yang dimasuki oleh unsur B1, sedangkan interferensi produktif adalah interferensi yang terjadi pada representasi. Kedua interferensi ini disebutnya dengan interferensi perlakuan (performance interference). Interferensi itu biasanya terjadi pada penutur yang sedang belajar bahasa kedua.

Dilihat dari tataran linguistiknya, interferensi dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu interferensi fonologi, interferensi morfologi, dan interferensi sintaksis. Sehubungan dengan interferensi fonologi Weinrich, (1968) membedakan beberapa tipe interferensi, yaitu interferensi substitusi (seperti halnya penutur Bali), interferensi overdiferensiasi (seperti halnya penutur Tapanuli), interferensi underdeferensi (seperti halnya penutur Jepang), dan interferensi reinterpretasi (seperti penutur Hawai)

(Chaer, 2004-1283).

22