— Liong Ong, celaka! Sam thaycu telah dibinasakan pula oleh bocah kècil itu . . . . .
= Ooo anakku! Engkau pergi untuk selama²nya . . . . .
Ngo Köng menangis sedih tatkala mendengar warta kematian puteranya itu.
Sételah sekian lama menangis Ngo Kong dengan sedih mengutuk Loc a.
— Sungguh biadab, kejam dan tak kenal prikemanusiaan, sampai hati benar anaknya Lie Ceng ini membunuh Likun petugas keamanan air dan putera ketigaku yang bertugas untuk mengontrol kekeringan tanab. Menurunkan hujan, mencegah banjir dan membantu kehidupan petani²? Dahulu waktu masih belajar Ngo heng tunsut di Se Kunlun, Lie Ceng termasuk saudara seperguruanku. Kenapa ia begitu se wenang² dan membiarkan anaknya berbuat keterlaluan seperti ini? Hmm . . . . sungguh hatiku penuh penasaran.
Kematian anakku sangat memedihkan, tidak saja mati secara layak, akan tetapi masih juga dilolosi urat besar dan tulang²nya untuk dijadikan ikat pinggang. Apakah ini tidak terlalu menghina ? Oh, bocah geladak! Aku akan menuntut balas !
Dengan murka Ngo Kong lalu Pianboa atau merubah dirinya sebagai sastrawan dan menuju kekota
17