Halaman:Horison 01 1970.pdf/5

Halaman ini belum diuji baca

..DISINI mas Pram boleh menulis atau tidak?". ..Mintakan idjin untuk itu !", djawabnja. - Dari pendjara Bukit Duri dan Pulau Edam hingga achir Desember 1949 Pramu- duapuluh tahun jang lalu dya Ananta Toer menuliskan tjerita-tjerita pendek dan beberapa novel, jang sebagian diselundupkan keluar oleh Prof. G.J. Resink dan diterbitkan. Dari tempat penaha- nannja ditahun 1960, setelah ia menulis Hoa Kiau di In- donesia, ja djuga konon menulis satu naskah jang hingga sekarang belum kita ketahui, meskipun H.B. Jassin per- nah membatjanja. Dan dari kamp Pulau Buru ini, apakah jang hendak ditulisnja? Malam hari, ditempat penginapan Djaksa Agung di- kamp itu, Pramudya Ananta Toer didatangkan dan ber- bitjara.,,Ia menjatakan bahwa ia ditangkap ketika sedang merentjanakan menulis sedjarah", kata Djaksa Agung ketika saja tanjakan peristiwa pertemuan dan pembitja- raan itu. „Ia menjatakan bahwa ia mempunjai buku-buku dan guntingan-guntingan koran jang sedjak lama dikum- pulkanoja untuk itu. Ia bertanja tentang kemungkinan buat mendapatkan kembali semua itu, sebab ia meren- tjanakan akan melandjutkan penulisannja. Saja kira itu usul jang baik. Saja kira itu bisa diusahakan". Menulis sedjarah, seperti dilakukannja dengan dua dji- Jid Panggil Aku Kartini Sadja? Dimadjalah Indonesia bu- lan Djuni 1956 dimuat Sunjisenjap Disiang Hidup, jang konon ditulis Pram beberapa waktu sebelum ia mengun- djungi Peking. "It is difficult to see this story as anything else but a sort of final settlement with the past at the mo ment of his break with it. It is noteworthy that after this story Pramudya as a creative artist almost ceased to express himself......", tulis Teeuw tentang tjerita-pendek itu. ¹) Nampaknja sang pengarang telah mentjapai satu babakan, dimana ia sudah siap unuk menggantikan impi- an-impiannja dengan tindakan karena kepahitanoja - dengan dunia disekitarnja, karena keketjewaannja terha- dap kesia-siaan hidupnja sendiri, terhadap kegagalan tuli san-tulisannja dan terhadap tidak-tjukupnja rasa kema- nusiaan jang ada padanja. Menggantikan impian-impiannja dengan tindakan itu kah jang menjebabkan Pramudya pada achinja mendjadi penulis pamflet lewat koran dan penulis sedjarah perdjo- angan? Itu pulakah jang menjebabkan ia dapat menemu kan lingkungannja dalam Partai Komunis Indonesia? SAJA mentjoba mencak sikapnja, ketika saja kebetu- lan berhasil memperoleh kesempatan berbitjara dengannja tanpa pengawal sore itu didepan Barak XIX. Umurnja 44, saja ingat, tapi dibawah rambutaja jang terlalu tjepat memutih itu sorot matanja tetap seperti dulu, tjampuran keangkuhan dan kepahitan, tangkas, tjerdas dan keras, tidak djuga redup, memandang sekitarnja tanpa senjum, tanpa ketenteraman dan dengan segaris kebimbangan. dalam Bagaimanapun, saja seorang asing baginja suatu pertemuan jang tak bisa ditentukannja sendiri, di- mana tak bisa diketahuinja adakah saja seorang pengun- djung jang bersimpati atau seorang penjelidik dengan mak sud tersembunji. - ,.Menurut mas Pram, lebih enak mana di Buru ini atau di Salemba ?", hati saja bertanja, tahu bahwa ia beberapa waktu lamanja berada di Rumah Pendjara dipodjok Dja- karta itu sebelum dibawa kemari, dan tahu bahwa mung-- kin pertanjaan seperti itu tidak akan didjawabnja terus-te rang. Tapi ia mendjawab: Ja lebih baik di Salemba". Suaranja pasti. . Ia tak mempunjai ketjurigaan pada saja agaknja, untuk berkata demikian. ..Saja tadi bertanja kepada beberapa kawan-kawan”, kata saja lagi agak terbata-bata menjebut para tahanan politik sebagai,,kawan-kawan", suatu istilah jang punja

  • konotasi istimewa bagi mereka.,,dan mereka mengatakan

bahwa makanan disini lebih baik daripada dibeberapa pendjara di Djawa...... dan disini ada alam terbuka jang luas, meskipun mereka mengeluh karena djauh dari keluarga......". ,,Ja, tapi tenaga kita disini diabsorbir oleh kerdja jang berat". Saja terdiam, memandangnja, Suaranja bersemangat. ,,DISINI, sastrawan maupun profesor harus bekerdja sebagai tani", kata seorang petugas.,,Mereka harus me- ngolah tanah ini, agar nanti bisa memilikinja dan hidup dari hasilnja". Dan saja bergurau: „Seorang sastrawan penganut realis me-sosialis memang harus beladjar hidup dengan dan dari kaum tani, seperti dikatakan Mao". (Bersambung kehal. 29) ! Y A. Teeuw, Modern Indonesian Literature, The Hague, Mar- Linus Nijhoff, 1967, h. 178. HORISON / 5