Halaman:Horison 01 1990.pdf/4

Halaman ini belum diuji baca

beda yang sama-sama ditimpakan oleh musuh mereka: Sang Kala. Segala kecapekan, kerapuhan, buta mata, lumpuh, tuli, dan kesintingan adalah bawaan (hadiah?) Sang Kala. Dengan begitu, tidak tersirat cinta sejati kedua insan yang malang itu. Per- sahabatan dengan kemalangan yang makin men- dalam itulah inti permainan Sang Kala. Dalam Happy Days, judul yang menjadi pop dalam film seri televisi di Amerika, ditampilkan seorang perempuan yang terperosok terkubur dalam tanah (dan sampah) sampai ke pinggang. Tepat se- perti telah berlalunya separoh dari apa yang nampak pada saat layar diangkat. Laku drama itu berupa makin terpendamnya perempuan itu ke dalam tanah, hingga pada saat layar turun tinggal kepalanya saja yang masih nampak tersembul. Sementara itu, tak ada sesuatupun yang dapat diperbuat kecuali mengi ngat-ingat apa yang tidak ada di panggung dan bermain dengan suaminya, yang merangkak me- ngitarinya. Bukankah dia seekor anjing yang mende- ngus-dengus, melacak jejak segalanya yang sudah hilang?

Mengapa Sang Kala dan akibat-akibatnya begitu penting bagi Beckett? Mungkin sekali dia mempu- nyai kerinduan terhadap Keabadian. Manusia, kalaulah bukan sekedar permainan Sang Kala, pas- tilah permainan Keabadian. Maka tokoh-tokoh drama yang sebenarnya adalah adegan-adegan dari tindakan yang tidak nampak: tindakan Sang Kala, sebagai jelmaan Keabadian atau sebagai Keabadian itu sendiri. Begitulah hidup meraba-raba, secara kabur, penuh kebimbangan, dan tanpa kepastian mencari makna dalam kelam lintasan waktu. Hatinurani bagaikan api dalam misteri kuasa keabadian. ***


(Sambungan dari hal 435)

daya inovasi, semangat bekerja dan berusaha serta berupaya sebahagian terbesar rakyat. Semuanya seakan telah membeku di dalam acuan resmi yang telah ditetapkan penguasa. Dan inilah yang akhirnya setelah hampir sete-ngah abad kaum komunis berkuasa mutlak di negeri-negeri komunis Eropah Timur, dan lebih lama lagi di Soviet Rusia ke dalam jurang kebangkrutan ekonomi mereka.

Rakyat yang tidak boleh kritis, yang tidak dii- zinkan menyatakan pikirannya secara terbuka, selama setengah abad lebih pasti akan kehilangan kreativitas dan daya inisiatifnya.

Gejala yang sama juga telah dapat kita lihat di tanah air kita sendiri. Telah cukup lama "budaya restu" berkembang ditanah air kita. Cukup banyak perorangan, maupun organisasi, dan perusahaan, yang belum berani bergerak sebelum mendapat restu dari tokoh-tokoh penguasa. Banyak seniman juga merasa jika pamerannya tidak dibuka oleh seorang pembesar (makin tinggi pangkatnya makin bertuah restunya), maka lukisannya akan kurang laku dan kurang bobotnya. Timbulnya budaya restu tidak lain, karena menurunnya kepercayaan pada kesanggupan diri sendiri, akibat terlalu beratnya pengaturan dan pembatasan yang ditimpakan pada masyarakat.

Saya telah cukup sering menulis dan berbicara tentang masalah pembatasan hak-hak azasi dan kemerdekaan manusia dan kaitannya dengan kreativitas serta daya inonvatif, inisiatif dan pro- duktivitas manusia.

Semoga kita di Indonesia, baik sebagai perora- ngan, maupun sebagai bangsa, dapat mengambil pelajaran dari pengalaman bangsa-bangsa di Eropah Timur itu. Lebih-lebih lagi dari beberapa tahun lam- pau, kita memerlukan sebuah kongres kebudayaan nasional, untuk membahas masalah-masalah budaya kita secara terbuka. Apa nasibnya kongres kebudayaan nasional itu, saudara Fuad Hasan? Mochtar Lubis

Menikah : Anita Anas Ma'ruf dengan Arindra Artasya Zainal SE.MSc. Pada hari Senin 27 November 1989. Jakarta Keluarga Horison

Menikah : Vera Serevia putri Motinggo Busye dengan Ir. Agung Adiwibowo Putra Ny. Soedjono Sastrosoebroso Pada hari Rabu 3 Januari 1990 Jakarta Keluarga HorisonHORISON/XXIV/438-