Halaman:Horison 04 1966.pdf/16

Halaman ini belum diuji baca

mengangkangi kehidupan kita dan mengan- jam njawa kita. Diseluruh tanahair kini telah beberapa jang gugur dan berpuluh- puluh lagi jang luka2 dan siapa tahu besok atau lusa kitapun akan menerima nasib jang sama? Kita sadar akan hal itu! Kita boleh menarik diri sekiranja kita pengetjut tetapi selalu ada jang bersedia menggantikan kita. Demikianpun sebaliknja. Kita seorang pemberani dan kita merasa bahwa kitalah jang lebih tepat untuk menerima kematian daripada orang lain jang kita pandang le- bih berguna; suatu tjontoh dari idealisme- aja hero; kita dengan tersenjum menje- rahkan kepala kita untuk dipenggal untuk keselamatan sesuatu jang kita tokohkan dari kebenaran !

Tirta menatap wadjah gadis itu dari samping dengan sikap menjelidik. Gadis itu seakan mengerti apa jang terkadji dalam pikiran Tirta saat itu, karena kemudian diapun berkata pula :

,,Kedengarannja semua itu hanjalah emosi jang tjengeng, tapi pertjajalah, ini tidaklah berada diluar kesadaran. Situasi kehidupan kita telah membuat kita tidak dapat mengerti terhadap peristiwa-peristiwa semata-mata melalui tangkapan rasio, te- tapi terutama adalah melalui tangkapan rasio, tetapi terutama adalah melalui tang- kapan perasaan. Ini emosi memang! Dan aku misalnja, aku sendiri terutama dihari- hari terachir ini kadang tak berdaja meng- hadapi emosiku sendiri......

...Situasi kehidupan, ja! Tapi barangkali terutama kelelahan. Kata Tirta membuka suara kembali. Sekarang sudah djam ma- lam kukira, tapi teman kita ada jang pu- nja pas-malam. Mereka dapat mengantarkan kau pulang dan kau dapat istirahat......"

Malam ini kami tidak akan pulang", potongnja. Kami akan tetap disini sampai besok".

..Besok barangkali kita akan sibuk sekali. Malam ini kalian sebaiknja mengambil ke- sempatan tidur".

..Kami tidak akan tidur", katanja pula. Kami telah putuskan untuk tidak tidur sepandjang malam ini".

Tirta tidak mendesaknja lagi. Nampaknja mereka memang tidak menundjukkan tanda bahwa mereka akan meninggalkan kampus itu malam itu. Mereka landjutkan bertjakap-tjakap sambil berdjaga-djaga. Hudjan tidak djadi turun. Tapi udara malam telah semakin terasa dingin djuga. Sekali-sekali terdengar suara letusan sendjata dikedjan- han dari arah jang sukar ditentukan atau gemuruh suara panser jang patroli didjalan raja. Akan tetapi suasana kampus tidak djuga mendjadi sepi. Semua akan tinggal disini sampai pagi dan berdjaga sepandjang malam. Tirta meluruskan leher djaketnja, Bersama jang lainnja, ia djuga akan ber- diaga sampai pagi dikampus itu. Mereka semua sedang menanti terbitnja hari esok! ***


UMAR KAYAM
SERIBU
KUNANG-KUNANG
DI MANHATTAN

MEREKA DUDUK bermalas-malasan di-sofa. Marno dengan segelas Scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama- sama memandang keluar djendela.

― Bulan itu ungu, Marno.

― Kau tetap hendak memaksaku untuk pertjaja itu?

― Ja, tentu sadja, kekasihku.
Ajolah akuilah. Itu ungu bukan?

― Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnja itu ?

― Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-n-g-u! U-n-g-u!
Ajolah b[il]anglah, ungu!

― Kuning ke-emasan !

― Setan
Besok aku bawa kau ke dokter mata,

Marno berdiri pergi kedapur untuk menambah air serta es kedalam gelasnja. Lalu dia duduk kembali di-sofa disamping Jane. Kepalanja sudah terasa tidak berapa enak.

― Marno, sajang.

― Ja, Jane.

― Bagaimana Alaska sekarang?

― Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah kesana.

― Maksudku hawanja pada saat ini.

― Oh, kira tidak sedingin seperti bia Bukankah disana ada summer djuga seperti disini ?

― Mungkin djuga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu-bumi.
Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang jang amat l-u-a-a-s dengan saldju, saldju dan saldju. Lalu disana-sini rumah- rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti ice-cream panili.

― Aku kira sebaiknja kau djadi penjair, Jane.
Baru sekarang aku mendengar perumpamaan jang begitu puitis. Rumah Eskimo seperti ice-cream panili . . .

― Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kau tahu . . .

― Eh, maukah kau membikinkan aku segelas . . . ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung martini itu tjampuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon?
Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini... Uuuuuuup...

Dengan susah pajah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berdjalan kedapur. Suara gelas dan botol beradu terdengar berden- tang-dentang. Dari dapur Jane mentjoba berbitjara lagi.

― Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu... Marno darling.

― Jaaa, ada apa dengan dia ?

― Aku merasa dia ada di Alaska seka rang.

Pelan-pelan Jane berdjalan kembali ke-sofa, kali ini duduknja mepet Marno.

― Di Alaska. Tjoba gambarkan di Alaska.

― Tapi minggu jang lalu kau bilang dia ada di Texas atau di Kansas begitu. Atau mungkin di Arkansas.

― Aku hilang, aku me-r-a-s-a Tommy ada di Alaska.

― Oh.

― Mungkin dia djuga tidak dimana-mana.

Marno berdiri, berdjalan menudju keradio lalu memutar knopnja. Diputar-putarnja beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan tjampuran suara-suara jang aneh. Potongan-potongan lagu jang tidak tentu serta suara orang jang tertjekik-tjekik. Kemudian dimatikannja lagi radio dan dia duduk kembali di-sofa.

― Marno, manisku.

― Ja, Jane.

― Bukankah di Alaska ja, ada adat menjugukan isterinja kepada Tamunja?

― Ja, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punja adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru anthropologi sadja.

― Aku harap itu betul.
Sungguh, darling, aku serius. Aku harap itu betul.

― Kenapa?

― Sebab, s-e-b-b-a-b aku tidak mau

HORISON / 112