Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak m-a-u-u. ― Tetapi bukankah belum tentu Tommy ada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkanaja muka Marno kemukanja. Mata Jane memandang Marno tadjam-tadjam.
― Tetapi aku tidak mau Tommy kesepan dan kedinginan!
Maukah kau, Marno kekasihku, maukah,
maukah kan?
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknja tangan Jane.
― Tentu tidak, Jane. Sudah tentu tidak.
― Kau anak jang manis, Marno,
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri didekat djendela. Langit bersih malam itu, ketjuali disekitar bulan. Beberapa awan menggerombol disekeliling bulan, hingga tjahaja bulan djadi suram karenanja. Dilongokkanja kepalanja kebawah dan satu belantara pentjakar langit tertidur dibawahnja. Sinar bulan jang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senjap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke-dalam tubuhnja.
― Marno.
― Ja, Jane.
― Aku ingat Tommy, pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian jang tjantik dari Oklahoma City beberapa tahun jang lalu. Sudahkah aku tjeriterakan hal ini kepada-mu?
― Aku kira sudah, Jane, Sudah beberapa kali.
― Oh.
Jane menghirup martini-nja empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas jang keberapa martini jang dipegangnja itu. Lagi pula tidak seorangpun jang memperdulikan.
― Ара ?
― Empire State Building sudah didjual.
― Ja, aku membatja tentang itu di New York Times.
― Bisakah kau membajangkan punja gedung jang tertinggi didunia ?
― Tidak. Bisakah kau ?
― Bisa, bisa.
― Bagaimana?
― Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran jang tjabul dan lutju. Tapi sekarang tahulah...
Lampu-lampu jang pada berkelip di-belantara pentjakar langit, jang kelihatan dari djendela, mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang jang suka bertabur malam-malam disawah embahnja didesa
― Oh, kalau sadja . . .
― Kalau sadja apa, kekasihku?
― Kalau sadja ada suara tjengkerik mengerik dan beberapa katak menjanji dari luar sana.
― Lantas ?
― Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku lebih senang sedikit.
― Kau anak desa jang sentimentil!
― Biar!
Marno terkedjut karena kata „biar!” itu terdengar keras sekali keluarnja.
― Maaf, Jane. Aku kira scotch jang membuat itu.
― Tidak, sajang. Kau merasa tersinggung. Maaf.
Marno mengangkat bahunja karena dia tidak tahu apa lagi jang mesti diperbuat dengan maaf jang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat diatas bangunan apartment Jane.
― Jet keparat!
Jane mengutuk sambil berdjalan terhujung kedapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnja Jane kembali, mukanja basah, ditangannja segelas air-es.
― Aku merasa segar sedikit.
Jane merebahkan badannja di-sofa, matanja dipedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja keatas. Lirih-lirih dia mulai menjanji ―― deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea...
― Pernahkah kau punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali didasar laut jang teduh itu, tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?
― He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu jang pandjang itu.
Bagaimana lagi, Jane ?
― Oh, lupakan sadja. Aku tjuma ngomong sadja,
Deep blue sea, baby, deep blue sea, baby, deep blue sea...
― Marno.
― Ja.
― Kita belum pernah djalan-djalan ke Central Park Zoo ja?
― Belum, tapi kita sudah sering djalan-djalan ke-parknja.
― Dalam perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo, Ha, aku ingat kami
berdebat dimuka kandang kera.
HORISON / 113