Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tapi aku tetap menjangkalnja, karena gorilla jang ada dimuka kami mengingatkan aku pada pendjaga lift kantor Tommy. Pernahkan aku tjeritakan hal ini kepadamu ?
― Oh, aku kira sudah Jane. beberapa kali
― Oh, Marno, semua tjeritaku sudah
kaudengar semua.
Aku membosankan ja, Marno? M-e-m-b-o-s-a-n-k-a-n.
Marno tidak mendjawab, karena tiba- tiba sadja dia merasa seakan-akan isterinja jang ada didekat-dekat dia di Manhattan malam itu.
Adakah pendjelasannja bagaimana satu bajangan jang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muntjul begitu sadja dalam waktu jang begitu pendek?
― Ajolah Marno. Kalau kau djudjur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Tjerita jang itu-itu sadja jang kaudengar tiap kita ketemu. Membosankan ja ? M-e-m-b-o-s-a-n-k-a-n!
― Tapi tidak semua tjeritamu, pernah aku dengar. Memang beberapa tjeritamu sudah be berapa kali aku dengar
― Bukan beberapa, sajang. Sebagian terbesar.
― Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.
― Aku membosankan djadinja.
Marno diam tidak mentjoba meneruskan. Disedotnja rokoknja dalam-dalam, lalu dihembuskannja lagi asapnja lewat mulut dan hidungnja.
― Tapi Marno bukankah aku harus
berhenti bitjara?
Aku kira Manhattan tinggal lagi kau
dan aku jang punja.
Apalah djadinja kalau salah seorang pe-
milik pulau ini tjapek berbitjara? Kalau
dua orang terdampar disatu pulau, me-
reka akan terus berbitjara sampai kapal
tiba bukan?
Jane memedjamkan matanja dengan dada-nja lurus-lurus terlentang di-sofa. Sebuah bantal terletak didadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar lalu duduk kembali di-sofa.
― Marno, kemarilah duduk.
― Kenapa? Bukankah sudah sedjak sore aku duduk terus disitu?
― Kemarilah duduk.
― Aku sedang enak didjendela sini, Jane.
Ada beribu kunang-kunang disana.
― Kunang-kunang ?
― Ja.
― Bagaimana rupa kunang-kunang itu ? Aku belum pernah lihat.
― Mereka adalah lampu hidjau ketjil-ketjil sebesar noktah.
― Begitu ketjil?
― Ja. Tetapi kalau ada seribu kunang-kunang hinggap dipohon pinggir djalan itu bagaimana?
― Pohon itu akan djadi pohon-hari-natal.
― Ja, pohon-hari-natal.
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanja terus menghadap keluar djendela lagi, menatap kesatu arah jang djauh entah kemana.
Apalagi jang bisa kukerdjakan kalau aku
― Marno, waktu kau masih ketjil . . .
Marno kau mendengarkan aku 'kan?
― Ja.
― Waktu kau masih ketjil pernahkah kau punja mainan kekasih?
― Mainan kekasih?
― Mainan jang begitu kaukasihi hingga kemanapun kau pergi selalu harus ikut?
― Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si-Djilamprang.
― Itu bukan mainan, itu piaraan.
― Piaraan bukankah untuk mainan djuga?
― Tidak selalu.
Mainan jang paling aku kasihi dahulu
adalah Uncle Tom.
― Siapa dia?
― Dia boneka hitam jang djelek sekali rupanji. Tetapi aku tidak akan per- nah bisa tidur Uncle Tom tidak ada di-sampingku.
― Oh, itu hal jang normal sadja, aku kira.
Anakku djuga begitu. Punja anakku andjing-andjingan bernama Fifi.
― Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom ada didekat-dekatku lagi sekarang.
Diraihnja bantal jang ada disampingnja, kemudian digosok-gosokkannja pipinja pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannja lagi bantal itu kesofa dan dia memandang pada Marno jang masih bersandar didjendela.
― Marno, sajang.
― Ja.
― Aku kira tjerita itu belum pernah kaudengar bukan?
― Belum, Jane.
― Bukankah itu adjaib ? Bagaimana aku sampai lupa mentjeritakan itu sebelumnja?
Marno tersenjum.
― Aku tidak tahu, Jane.
― Tahukah kau? Sedjak sore tadi baru
sekarang kau tersenjum.
Mengapa?
Marno tersenjum.
― Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.
Sekarang Jane ikut tersenjum,
― Oh, ja, Marno manisku.
Kau harus berterima kasih kepadaku
Aku telah menepati djandjiku.
― Apakah itu, Jane?
― Pijama. Aku telah belikan kan pijama
tadi.
Ukuranmu medium-large 'kan? Tunggu
ja . . .
Dan Jane seperti seekor kidjang jang mendapatkan kembali kekuatannja sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk kedalam kamarnja. Beberapa menit kemudian dengan wadjah berseri dia ke-luar kembali dengan sebuah bungkusan ditangan.
― Aku harap kau suka pilihanku. Dibukanja bungkusan itu dan dibebernja pijama itu didadanja,
― Kau suka dengan pilihanku ini?
― Ini pijama jang tjantik, Jane,
― Akan kau pakai sadja malam ini.
Aku kira sekarang sudah tjukup malam
untuk berganti dengan pijama.
Marno memandang pijama jang ada di-tangannja dengan keraguan.
― Jane.
― Ja, sajang.
― Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur disini malam ini.
― Oh? Kau banjak kerdja ?
― Eh. tidak seberapa sesungguhnja
Tjuma...
Tak tahulah.
― Kau merasa tidak enak badan ?
― Aku baik-baik sadja.
Aku... eh, tak tahulah. Jane.
― Aku harap aku mengerti, sajang.
Aku tidak akan bertanja lagi.
― Terima kasih, Jane.
― Aku bungkus sadja pijamamu ?
― Terserahlah. Tjuma aku kira aku tidak akan membawanja pulang.
― Oh.
Pelan-pelan dibungkusnja kembali pijama itu lalu dibawanja masuk kedalam kamar-nja. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnja.
― Aku kira, aku pergi sadja sekarang, Jane.
― Kau akan menelpon aku hari-hari ini 'kan?
― Tentu, Jane.
― Kapan aku bisa mengharapkan itu ?
― Eh, aku belum tahu lagi, Jane.
Segera aku kira.
― Kau tahu nomor-ku 'kan?
Eldorado...
― Aku tahu, Jane.
Kemudian pelan-pelan ditjiumnja dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno dibalik pintu, langkahnja terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga. Dikamarnja, ditempat tidur, sesudah minum beberapa butir obat-tidur
Jane merasa bantalnja basah.
HORISON / 114