dapat dipejamkan.
Suaminya kini menidurkan si kecil. Malam ini, si kecil tak lagi meminta untuk dibacakan cerita. la bercerita sendiri. Menceritakan kakek barunya. Kakek barunya yang tak pernah memanggil namanya, tak pernah tertawa, juga tak ikut bermain dengannya.
“Kakek hanya menontonku bermain dengan mama, Pa,” begitu jelas si kecil.
Laki-laki itu tak berkata sepatah pun. Hanya mendengarkan semua yang diceritakan putrinya. Lalu, berpikir pula ia sejenak. Anak empat tahun saja merasakan bahwa ada yang janggal dengan kakek barunya itu. Tapi, istrinya.
Hingga si kecil tertidur, istrinya belum juga kembali dari karmar khusus yang disediakan untuk ayahnya. Kamar agak besar yang dikondisikan dengan apa-apa yang disukai ayahnya. Foto-foto masa lalu mereka, lukisan ibu, poster grup musik God Bless, terpajang rapi di dinding kamar itu. Juga cahaya lampu redup berwarna kuning. Begitulah yang disuka ayahnya.
Dari celah pintu kamar, dilihatnya istrinya masih bercerita pada ayah. Bertanya pula ia dalam hati. Begitu senangkah istrinya hingga ia tak ingin melewatkan sedetik pun tanpa ayah? Ayah berselimut merah tua yang hangat. ia tahu persis, selimut itu belum pernah dipakai sejak mereka membelinya. Sayang jika dipakai, begitu istrinya
bilang. Kedatangan ayah memang istimewa sekali baginya.
Bercerita-cerita suami-istri itu. Bertanya jawab mereka. Tentang ayah, tentang kedatangan tiba-tibanya. Hanya sebuah anggukan pasti dari istrinya untuk
menjawab pertanyaan itu. “Tapi, dia tak bergerak. Tak bernapas, tak pula bisa
tersenyum, tertawa, menangis.”6