Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/14

Halaman ini tervalidasi

aspek penting sekali dari kebudajaan ditindjau setjara fenomenologi.

KEBUDAJAAN SEBAGAI TOTALITAS

Ketika dalam pertengahan tahun² tigapuluhan di Djakarta berlibatan polemik kebudajaan timbullah kesimpulan² jang merumuskan se-akan² kebudajaan Barat itu mempunjal sifat jang bertentangan dergan sifat kebudajaan Timur, jaitu dengan menjatakan bahwa kebudajaan Barat itu dinamik sifatnja, sedang kebudajaan Timur itu statik sifatnja. Dalam polemik itu dengan struktur berpikir jang sama diusahakannja untuk mendamaikan kedua kebudajaan itu dalam sintesia. Djika kita menghubungkan pendapat² jang kelihatannja ber-beda² itu tentang kebudajaan dengan kenjataan jang ada, baik di-negeri² Barat sendiri, maupun dinegari kita, akan tampaklah, bahwa persoalannja orang tidak melihat kenjataan itu sebagai evidensi jang langsung. Pada hakikatnja tidak mungkinlah ada sesuatu kebudajaan jang statik, karena setiap kebudajaan senantiasa dinamik, mengingat, bahwa kebudajaan merupakan suatu proses dalam sedjarah. Oleh karena itu kebudajaan itu senantiasa mengandung tendensi untuk melenjapkan segala jang asing, dengan perkataan lain, kebudajaan itu merupakan suatu totalitas, artinja kebudajaan itu menjusun suatu dunia insani, dalam mana tidak lagi terdapat pertentangan. Adalah djalan sedjarah jang senantiasa berusaha se-kuat²nja untuk menghilangkan atau menjelesaikan setiap pertentangan, akan tetapi segera pertentangan itu bisa diselesaikan, maka menjusul pertentangan berikutnja. Inilah jang merupakan inti dari dialektik sedjarah itu, dan djustru karena pertentangan sebagai tantangan diselesaikan dengan penjelesaian pertentangan itu sebagai djawabannja, maka djawabannja itu akan segera disambut oleh suatu kekuatan baru jang menimbulkan pertentangan baru dan demikianlah memang hakikai dari sedjarah itu jang senantiasa mempunjai tendensi total, meluas, bagaikan ombak samudera jang memukut pantai: djika sedjengkal tanah telah dipetjahkan, maka ombak itu akan segera datang lagi untuk memukuli djengkal tanah berikutnja. Itulah ibarat dari perdjuangan manusia dalam membentangkan sedjarahnja dalam rupa kebudajaannja sebagai proses jang total. Padamulanja manusia jang tertjampak di-tengah² alam sekitarnja merasa dirinja menghadapi barang² jang asing, karena belum merupakan totalitasnja, tetapi segera ia barhasil mengatur alam sekitarnja itu ia mendjadikan barang² jang asing mendjadi tidak asing lagi, maka disebutlah, bahwa manusia berusaha melenjapkan segala jang asing. Perasaan asing kita pada suatu tempat dan ketika ditandai oleh objek kita jang belum mendjalankan funksianja sebagai penghubung sosial, dengan perkataan lain, diri kita merasa asing karena kita tidak bersatu dengan orang-lain. Dalam kondisi jang demikian itu kita adalah asing terhadap orangdain itu, sebaliknja kita djuga bisa me- ngatakan, bahwa kita udatah asing bagi orang-lain itu. Umpamanja pada suatu hari kita menjaksikan suatu sandiwAra jang kotjak. disamping kita ada dua orang-lain jang kita baru pertama kali itu melihat mereka. Pada suatu adegan jang sangat kotjak pada saat itu kita tertawa ter-pingkal², akan tetapi kita melihat djuga, bahwa dua orang-lain jang belum kita kenal itu djuga tertawa terpingkal² seperti kita. Andaikata kita mengenal mereka itu kita, sementara kita tertawa ter-pingkal² itu, dapat mentjablek² bahu mereka sebagaimana kalau kita melakukan suatu kelakar atau senda-gurau, akan tetapi kita tidak dapat mendjalankannja jang demikian itu, karena kita belum mengenal mereka. Kita ingin memberitahukan kepada mereka, bahwa pertundjukan itu sangat kotjak dan mungkin mereka itu ingin pula memberitahukan kepada kita hal jang sama. Demikianlah perasan asing itu mengungkung diri kita. Dan pada saat kita tidak bisa lagi manguasai diri kita itu, maka meskipun kita tidak mengenal mereka itu kita akan berbitjara kepada mereka. Dalam hal jang sama, kita dapat mentjeritakan, bahwa pada