Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/100

Halaman ini tervalidasi

mataku telah terhalang oleh batasan papan truk di sekeliling body-nya.

Lima menit berlalu, aku tidak lagi dapat memandangi arak-arakan awan di langit sana. Sebuah batu besar telah menindih tubuhku, disusul oleh batu-batu yang lain. Tibalah saatnya untuk meninggalkan kampung halamanku, aku yakin tidak akan dapat melihat tempat bertenggerku lagi. Sudah tiba saatnya bagiku untuk dipergunakan oleh manusia, mungkin untuk membangun sebuah jembatan atau untuk membangun gedung, yang jika dilihat dari atasnya, orang-orang yang berlalu lalang di bawah akan terlihat seperti iring-iringan semut yang sedang membawa makanan.

Bunyi derum mesin menandakan kalau kami akan diangkut ke sebuah tempat. Tempat aku dan teman-temanku akan mendapatkan pemandangan dan suasana baru. Jalanan tepian bukit memang belum diaspal. Itu membuat perut kami mual, terhuyung ke sana kemari. Sampai di perempatan jalan depan, kami sudah merasa aman karena jalanannya adalah sebuah jalanan yang menghubungkan antardua kota. Dan, truk yang mengangkut kami telah berlari dengan tenangnya.

Cukup lama juga perjalanan kami, sampai akhirnya truk berhenti, entah di mana karena pembatas di sekeliling tubuh mobil belum juga dibuka. Kami semua penasaran, di mana kami nantinya akan ditempatkan.

Dua orang pekerja mulai membuka pengunci bak truk dan kami semua dituangkan. Kami mendarat dengan empuknya, hanya peraduan sesama kami yang menimbulkan suara. Kami jatuh di pasir yang lembut. Ternyata, kami hijrah ke sini, tempat yang ada laut, ombak, pasir, burung camar, dan lain sebagainya.

Aku merasa akan betah di sini sampai nantinya hancur menjadi pasir-pasir itu. Perasaanku begitu ceria, tidak ada lagi pemandangan lumut yang menjijikkan, tidak ada lagi curahan air dari akar-akar pohon yang dingin, tidak ada lagi keterkekangan pandangan, yang selalu terhalang oleh dahan dan ranting-ranting pohon. Tidak ada lagi kera-kera yang selalu membuang hajatnya di atas badanku. Tidak ada lagi kelengangan di hatiku. Semuanya sirna setelah aku memandangi keramaian pantai ini dan merasakan hangatnya juluran

88