Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/90

Halaman ini tervalidasi

"Nggak. Aku nggak mau beli apa-apa."

"Nggak ada? Barang-barang sebagus ini mana mungkin nggak ada yang kamu sukai?" tanyaku menatap Dian heran. "Suka nggak suka, kalau nggak perlu, buat apa dibeli," jawabnya. "Buat apa, sih, kamu membeli ikat rambut sebanyak itu? Rambut kamu, kan, pendek?"

"Ini namanya koleksi, Dian."

"Ya, dan itu artinya buang-buang uang."

Aku sangat lelah dan rasanya ingin tidur sepanjang sore, sampai besok ayam berkokok lagi. Hari ini sebenarnya aku les, tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk pergi, aku terlalu lelah dan malas. Lagi pula di tempat les aku juga tidak melakukan apa-apa. Hanya mendengarkan guruku yang bersuara lantang dengan dialek asli Minang itu berkicau, itu pun hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

"Tika, buat apa kamu les, kalau di sini kamu cuma main-main?" tanya Dian.

"Karena disuruh Mama," jawabku tanpa berpaling dari game di ponsel yang sedang kumainkan.

"Itu sama saja dengan buang-buang uang," katanya sambil memandangku dengan gemas.

Selalu saja kata-kata itu yang dikatakannya. Aku rasa dia kekurangan kosakata.

"Aku sama sekali tidak merasa seperti itu. Di bagian mananya aku terlihat seperti 'membuang' uang?"

"Kamu tahu, kan, berapa uang les kita sebulan?"

"Kalau nggak salah, seratus lima puluh ribu, kan?"

"Itu kamu tahu, pertemuan kita di tempat les ini, dua kali seminggu, itu artinya sekali pertemuan, kita membayar lima belas ribu."

"Oh, ya? Kalkulasi kamu sempurna sekali." Sekarang sudah lewat satu semester, seperti biasa aku masih ada di peringkat teratas, tidak ada perubahan sama sekali. Dian ada tepat di bawahku dengan selisih nilai satu angka. Aku hanya heran, mengapa karena hal itu Dian bisa menangis, terharu. Bukankah itu terlalu biasa untuk ditangisi, dikagumi, atau semacamnya?

Hari ini ada pengarahan dari para alumni untuk mengarahkan kami dalam mengambil jurusan, IPA, IPS, atau


78

78