Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/94

Halaman ini tervalidasi

berusaha untuk memanfaatkan segala sesuatu yang kamu punya dengan sebaik-baiknya. Kamu pintar. Kalau aku harus mengulang beberapa kali untuk menguasai suatu bahan, kamu sepintas lalu saja sudah bisa. Kamu punya segalanya, fasilitas yang lengkap, segala sesuatu yang berlimpah. Tapi, apa? Kamu nggak menghargai semua itu. Tidak semua orang seberuntung kamu. Di luar sana, banyak orang yang berusaha mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dan, kamu? Kamu bahkan nggak memikirkan ingin jadi apa kamu nanti. Padahal, kamu bisa meraih apa yang kamu inginkan, tapi kamu sia-siakan."

Menyebalkan! Dia sama sekali tidak punya hak untuk menasehatiku dan mengguruiku, seperti itu. Orang tuaku saja tidak pernah protes. Dia juga menambahkan, "Katanya, seseorang nggak akan tahu betapa berharganya sesuatu, sebelum dia kehilangan, dan aku rasa itu benar."

Bagiku itu terdengar, seperti sebuah kutukan, seperti ketika si penyihir jahat mengutuk putri tidur untuk tertidur selama seratus tahun.

"Aku sama sekali tidak ingin hal itu terjadi sama kamu, Tika. Sama sekali tidak. Sekarang aku cuma berharap agar ada suatu hal yang bisa membuka hati dan otak kamu yang terlalu sempit itu."

Semua ucapannya yang menyebalkan itu terekam jelas dalam ingatanku dan sekarang pun masih terngiang-ngiang di telingaku. Jelas dan bersih.

Masih dengan perasaan kesal, marah, dan lainnya bercampur aduk dalam diriku, aku berjalan ke toko buku langgananku. Toko yang tidak terlalu besar itu terlihat sepi, hanya ada seorang bapak setengah baya dan seorang anak laki-laki yang kira-kira masih duduk di bangku SD di sana. Aku rasa mereka adalah pembeli.

Aku berjalan mendekat dan menyapa Pak Budi, pemilik toko yang ramah dan bersahabat itu, dengan sebuah senyum. Dia membalas senyumku dan kembali melayani pembeli, ayah dan anak itu.

"Harganya berapa, Pak?" tanya sang ayah kepada Pak Budi.

"Lima belas ribu."

82